Page 73 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 73
Reforma Agraria: Menyelesaikan Mandat Konstitusi
drastis pada periodenya. Namun, upaya Soto ini merupakan babak baru
dengan menyeret masyarakat masuk dalam skema ekonomi pasar (Soto
2001, 31-32).
Program Joyo Winoto dengan konsep sederhana dan tidak terlalu
baru namun berhasil menarik minat masyarakat, dan mendapat du-
kungan Bank Dunia yang ditunjukkan lewat skema lama Land Manage-
ment and Policy Development Program-LMPDP (2004-2009) yang
diteruskan dengan fokus pada menejemen dan sertipikasi tanah. Karena
dengan sertipikasi yang semakin banyak masyarakat akan mampu meng-
gerakkan tanah masuk pasar dengan mengakses modal. Sementara
redistribusi justru tidak banyak dilakukan karena objek tanahnya tidak
banyak didapatkan, sehingga, sebenarnya fokus program Joyo Winoto
justru yang paling siginifikan adalah legalisasi aset (Rachman 2012, 114)
dan redistribusi tanah mengalami “kemandekan”. Dengan bahasa lain,
apa yang dibayangkan Joyo Winoto tentang Landreform plus atau RA
(aset+akses) diawal kepemimpinannya yang akan dijalankan dengan
menata ulang penguasaan tanah justru lebih pada melayani kemauan
Bank Dunia, yakni menggeser RA dengan legalisasi aset yang akhirnya
justru membentuk pasar tanah di Indonesia (Rachman 2017, 175-176).
Menjelang berakhirnya masa jabatan SBY periode kedua, istilah RA
semakin tidak populer di kalangan birokrat karena konsentrasi BPN lebih
fokus pada persoalan administrasi pertanahan. Kebijakan legalisasi aset
tetap dilanjutkan dan redistribusi tanah kepada masyarakat miskin sema-
kin tenggelam. Di luar itu, praktik kebijakan pembangunan berbasis
tanah semakin menguat. Setelah lahir UU No. 2/2012 tentang Pengadaan
Tanah, fokus SBY semakin kental mengarah pada proyek pembangunan
dengan upaya secukupnya menyelesaikan konflik-konflik agraria secara
parsial. Tidak ada perubahan secara signifikan setelah pucuk pimpinan
BPN beralih dari Joyo Winoto ke Hendarman Supandji. Hendarman
melanjutkan tradisi sebelumnya yakni legalisasi aset dan menggerakkan
penyelesaian konflik lewat salah satu kedeputiannya. Namun lagi-lagi,
upaya penyelesaian konflik tidak mampu menjawab bagaimana maraknya
konflik agraria di daerah yang diakibatkan dari “pembiaran kebijakan” dari
periode-periode sebelumnya (Widiyanto 2013, Mulyani 2014, 344-345).
45