Page 270 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 270
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
5. Menumbuhkan rasa kebersamaan dalam menyelesai-
kan sengketa pertanahan;
6. Memberikan kepastian hukum pada pemegang hak
atas tanah;
7. Membiasakan masyarakat pemegang hak atas tanah
untuk memiliki alat bukti yang otentik atas haknya
tersebut.
Adapun mengenai biaya PRONA ditetapkan dalam
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 594 Tahun
1982 tanggal 26 November 1982 sebagai berikut:
1. Untuk golongan ekonomi lemah, biaya operasionalnya
diberi subsidi dengan anggaran Pemerintah Pusat me-
lalui APBN dan Pemerintah Daerah melalui APBD;
2. Untuk golongan mampu, biaya operasionalnya dibe-
bankan kepada swadaya para anggota masyarakat yang
akan menerima sertifikat.
Pada saat itu biaya resmi PRONA dibedakan antara
golongan mampu dan tidak mampu dan juga dibedakan
berdasarkan lokasi PRONA (Perkotaan I, Perkotaan II,
Perkotaan III, dan Pedesaan (Sudjito, 1987). Selain biaya
resmi tersebut peserta PRONA juga dibebani biaya admi-
nistrasi, biaya sumbangan untuk penyelenggaraan land-
reform, biaya panitia A, biaya pengutipan surat ukur, biaya
pendaftaran hak atas tanah dan biaya untuk blanko ser-
tifikat (Soehendera, 2010). Dengan adanya subsidi untuk
masyarakat yang tidak mampu, biaya-biaya tersebut men-
jadi jauh lebih terjangkau, yang menjadikan PRONA men-
jadi metode yang cukup efektif untuk mendorong masya-
234