Page 227 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 227

Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan  215


              adalah antara masyarakat perkebunan dengan pihak militer. Kembali
              ke  era  1950-an  di daerah  Sukorejo  Jember, dimana  pada  tahun  1952
              pihak  Distrik  Militer  (sekarang Kodim) meminta  lahan  seluas  22,75
              hektar guna keperluan bangunan Dipo Batalyon AD. Untuk keperluan
              tersebut  masyarakat  perkebunan  di daerah  tersebut  dengan  senang
              hati merelakan  sebagian  tanah  yang telah  mereka  duduki dan
              sebagian tanah, dimana nenek moyang mereka ikut membuka hutan
              bersama  onderneming  saat  kolonial dulu  untuk  dijadikan  sarana






              pertahanan militer  H  itu dikarenakan pada saat revo  isik di

              daerah   dijadikan bent  perlawanan isik atas agr  militer




              Belanda, sebagaimana  telah  saya  gambarkan  pada  bab  sebelumnya.
              Tentu  permintaan  tersebut  melalui serangkaian  perundingan  dan
              kesepakatan  kedua  belah  pihak. Dan  untuk  memenuhi keperluan
              mendirikan  bangunan  tersebut  pihak  AD saat  itu  dikenakan  ganti
              rugi untuk lahan tersebut sebesar Rp. 2.500,- per hektar kepada massa
              rakyat tani yang tanahnya diambil untuk kepentingan militer tersebut.
                  Keterlibatan  kalangan  militer  dalam   area  perusahaan
              perkebunan  semakin  tegas  dengan  keluarnya  UU Darurat. Pada
              tanggal 14 April 1958 atas dasar berlakunya situasi darurat, lahirlah
              Peraturan  Pemerintah  pengganti UU yang lebih  tegas  melarang
              penggarapan  dan  penguasaan  tanah  tanpa  izin  dari pemiliknya.

              Peraturan tersebut ditandatangani oleh Penguasa Perang Pusat yang
              tidak lain adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada waktu

              itu, Mayjend AH Nasution. Penguasa  Perang Pusat  itu  kemudian
              memerintahkan   Panglima  Militer  Daerah  untuk  mengambil alih




              semuaperusahaan perkebunan milik Belanday  ada  wilayahny


              atas nama RI dan menindak tegas siapapun pelaku pengambilalihan
              yang dianggap  tidak  sah, termasuk  pendudukan  dan  penggarapan
              tanah-tanah yang dilakukan oleh masyarakat perkebunan. 48

              48  Dianto  Bachriadi dan  Anton  Lucas, Merampas Tanah Rakyat: Kasus
                  Tapos dan Cimacan (Jakarta: Kepustakaan  Populer  Gramedia, 2001),
                  hlm. 1-4.
   222   223   224   225   226   227   228   229   230   231   232