Page 40 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 40
28 Tri Chandra Aprianto
satu sisi harus menata ulang penguasaan sumber-sumber agraria
yang lebih adil kepemilikannya, sementara pada sisi lain kebutuhan
akan devisa negara. Tidak itu saja, kebutuhan setelah penataan
ulang adalah program lanjutan yang juga membutuhkan kerja serius
dari pemerintah, seperti penyuluhan, pendidikan tentang teknologi
produksi, pengkreditan, pemasaran, dan seterusnya. Sehingga
setelah penataan rakyat mempunyai aset yang lebih produktif dan
tidak ada pengangguran, karena reforma agraria mendekatkan tanah
73
kepada para pekerjanya. Dengan demikian reforma agraria adalah
satu bagian dari konsep pembangunan yang menyeluruh dengan
berbagai persyaratan di dalamnya. Akan tetapi dengan menjalankan
reforma agraria justru memberikan dasar yang kuat bagi masa depan
pembangunan politik dan ekonomi nasional. 74
Periode menjelang kemerdekaan hingga tahun 1960-an, agraria
dan perkebunan menjadi salah satu tema pokok dalam perdebatan
75
pembangunan ekonomi nasional. Penataan sumber-sumber agraria
73 Uraian lebih lengkap lihat pada Gunawan Wiradi, Reforma Agraria,
2000.
(L
74 Peter Doner, Land Reform and Economic Developmentondon:
Penguin Books, 1972), hlm. 17.
75 Setidaknya terdapat dua konferensi ekonomi yang membahas masalah
perkebunan di Surakarta pada bulan Februari dan Mei tahun 1946
yang kemudian melahirkan Badan Perancang Ekonomi (National
Planning Board) yang yang bertugas menyusun rencana pembangunan
ekonomi jangka pendek 2-3 tahun dan jangka panjang (Rencana
Pembangunan Sepuluh Tahun). Adapun rencana tersebut adalah: (i)
pengambilalihan seluruh bangunan perkebunan dan industri bekas
milik pemerintah Belanda; (ii) menasionalisasi seluruh bangunan dan
gedung milik asing yang dianggap vital dengan cara pembayaran ganti
rugi; (iii) menyita perusahaan milik Jepang sebagai ganti rugi akibat
perang; (iv) mengembalikan perusahaan Belanda kepada yang berhak
setelah diadakan perjanjian antara pemerintah RI dengan Belanda;
(v) pemerintah membuka kesempatan penanaman modal asing di
Indonesia; dan (vi) tanah-tanah partikelir akan dihapus. Begitu juga
masalah perkebunan juga masuk dalam Dasar Pokok dari Rancangan
Ekonomi Indonesia (1947). Lihat pada Bisuk Siahaan, Industrialisasi
(
J
di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan sampai Banting Stirakarta:
Pustaka Data, 1996), hlm. 138-9.