Page 41 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 41
Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan 29
harus dilakukan terlebih dahulu dan itu membutuhkan kebijakan
dan dukungan politik yang kuat. Soekarno menyadari hal itu dan
segera membentuk Panitia Agraria Yogyakarta (1948) yang bertugas
membuat kerangka pemikiran hukum agraria nasional, pengganti
hukum kolonial (Agrarische Wet 1870). Akibat perpindahan ibu kota
negara, berubah menjadi Panitia Agraria Jakarta (1951) tugasnya
melanjutkan gagasan sebelumnya dengan tambahan: (i) penetapan
batas keluasan maksimum dan minimum; (ii) yang dapat memiliki
tanah untuk usaha tani kecil; dan (iii) pengakuan rakyat atas kuasa
undang-undang. Selanjutnya diganti Panitia Soewahjo (1956), yang
76
berhasil membuat Rancangan Undang-Undang (RUU). Akhirnya
disempurnakan oleh Panitia Soenario (1958), dan menyerahkan
RUU ke DPR. Namun Presiden Soekarno terlebih dulu meminta
pendapat kepada Universitas Gajah Mada (UGM) guna mengkritisi
RUU tersebut. RUU akhirnya disahkan pada tanggal 24 September
1960, dalam Lembaran Negara No. 104 Tahun 1960, sebagai UU No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA
1960). Kendati kemudian persoalan perkebunan dalam prakteknya
tidak menjadi objek utama land reform. 77
Setidaknya bisa dirumuskan reforma agraria adalah suatu
konsepsi yang tidak berada dalam ruang hampa. Ia berada dalam
ruang yang diperebutkan oleh berbagai aktor yang memaknainya.
Kendati begitu studi ini lebih menekankan dari perspektif
masyarakat perkebunan. Oleh sebab itu tulisan ini pada dasarnya
ingin menyatakan pentingnya suatu kajian proses sosial-politik
yang harus memperhitungkan kesadaran dan kekuatan masyarakat
76 Singgih Praptodihardjo, Sendi-sendi Hukum Tanah di Indonesia
(Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1953), hlm. 98.
77 Lihat Noer Fauzi Rachman, Land Reform dari Masa ke Masa; Perjalanan
Kebijakan Pertanahan, 1945-2009 (Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2012),
hlm. 25-32.