Page 64 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 64
52 Tri Chandra Aprianto
swasta untuk masuk di daerah yang subur. Untuk itu harus ada
kebijakan negara yang menyatakan hak negeri atas sebidang tanah
yang disebut domein verklaring. Dalam pasal 1 dari Agrarisch Besluit
(stbl. 1870 No. 118) menyatakan “Semua tanah yang tidak ada hak di
42
atasnya (eigendom), adalah kepunyaan negeri.” Adapun tafsir atas
hak ini sangat merugikan masyarakat pribumi dan menguntungkan
pihak kolonial. 43
Berdasar hak istimewa tersebut para pengusaha mulai
berbondong-bondong mengajukan hak erfpacht, 44 sebuah hak
istimewa pemerintah k guna pengusaha menyewa
yang lebih luas dan memperbesar cakupan usaha atas tanah rakyat.
45
Ini sebuah kebijakan yang merupakan hak privat, 46 karena bukan
sistem sewa sebagaimana y diatur dalam Burgerlijk Wetboek. Ini
42 Tauchid merumuskan pasca 1870 adalah jaman feodalisme baru, dimana
tanah tidak lagi dikuasai oleh kalangan Istana, tapi sebuah perusahaan
yang diatur oleh pemerintah Kolonial Belanda, Mochammad Tauchid,
Masalah Agraria; Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakuran
Rakyat Indonesia (Jakarta: Yayasan Bina Desa, 2011), hlm. 18-25.
43 Soal tafsir yang merugikan ini bisa dilihat di Cornelis van Vollenhoven,
Orang Indonesia, hlm. 65-6.
44 Hak erfpacht juga dapat ditetapkan di atas hak milik bila pemiliknya
bersedia melepaskanya. Dalam prakteknya proses pelepasan hak
itu seringkali dilakukan secara paksa. Mengenai hal ini dapat dilihat
pada Mubyarto dkk, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan Kajian Sosial
Ekonomi (Yogyakarta: Penerbit Aditya Media, 1992), hlm. 39.
45 Untuk keluasan tanah yang didapat dari hak erfpacht di wilayah Jember
dapat dilihat pada Brosur NV LMOD, Een Jubileum in de Tabak, 1909.
Lihat juga Regeerings-Almanak tahun 1879, 1882 dan tahun 1889.
46 Tampaknya praktek politik pelaksanaan Agrarische Wet begitu mudah
dan efektif dijalankan oleh pemerintahan kolonial. Ada beberapa
y memuluskan jalany berakhirnya perlawanan Panger
Diponegoro (1830); (ii) berlakunya sistem tanam paksa; (iii) penataan
birokrasi dengan memainkan penguasa lokal saat itu. Rentang waktu
40-an tahun, sangat cukup waktu untuk menyiapkan penataannya.
Informasi seperti ini didapatkan dari hasil diskusi dengan Syamsir
M wawancara pada A 200 Jakarta.