Page 70 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 70
58 Tri Chandra Aprianto
pertanian agraris berada pada suasana baru yaitu masuk dalam
sirkuit kapitalisme dan pola hubungan kerjanya adalah industrial,
antara buruh dan majikan (tuan kebun).
Ada beberapa ciri yang melekat pada sistem ekonomi perkebunan
ini, yang itu memiliki implikasi adanya konlik. Hingga saat ini
ciri-ciri tersebut masih bisa dirasakan dan masih bekerja. Pertama,
membutuhkan tanah yang luas, karena bentuk usaha pertaniannya
berskala besar dan kompleks. Penguasaan tanahnya cenderung tak
terbatas atau tak dibatasi. Mereka cenderung haus akan tanah. Kedua,
membutuhkan tenaga kerja dengan jumlah yang besar sebagai tenaga
upahan. Kebutuhan tenaga kerjanya jauh melebihi suplai tenaga kerja
yang tersedia di pasar, karena itu diciptakanlah mekanisme ekstra
64
pasar (seperti kuli kontrak, migrasi, transmigrasi, dan sejenisnya).
Ketiga, membutuhkan dukungan modal yang besar pada setiap unit
kerjanya. Keempat, adanya struktur organisasi kerja yang rigid dan
ketat dengan pembagian kerja yang jelas. Birokrasi semacam ini
oleh sementara pakar disebut dengan istilah plantokrasi. 65 Kelima,
birokrasi perkebunan besar tidak terjangkau oleh kontrak sosial,
karena pada umumnya perkebunan besar merupakan enclave yang
terisolasi dari masyarakat (kecuali barangkali perkebunan tembakau
dan tebu di Jawa). Keenam, terdapat dukungan teknologi modern
yang sebelumnya tidak ada. 66 Tidak ketinggalan pula adanya
pemikiran yang dominan yang melegitimasi keberadaan sistem
ekonomi modern ini bahwa ekspor komoditi hasil perkebunan harus
64 Khusus untuk kuli kontrak terjadi di wilayah Sumatera Timur.
65 Sistem perkebunan bercorak kapitalis yang kunci suksesnya terletak
pada tenaga kerja wajib dan upahan
elite desa dalam struktur dan mekanisme birokrasi patrimonial di
Jaw dan pemerasan kontrak Sumatera Timur Sistem
organisasi kerja otokratis dan otoritarianis, menjadi sarana eksploitasi
tenaga kerja. Adapun modusnya adalah pengerahan, pendisiplinan,
pengupahan, dan diskriminasi etnik. Pemerasan luar biasa telah
menghancurkan moral petani.
66 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan, hlm. 4.