Page 74 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 74
62 Tri Chandra Aprianto
ke daerah Jember menggunakan sarana transportasi laut melalui
pelabuhan Jangkar dan Panarukan. 74
Dalam konteks yang berbeda, bisa dikomparasikan dengan
proses yang terjadi di perusahaan perkebunan di Deli, Sumatera
Timur (Sumatera Utara) yang menerapkan sistem kontrak untuk
75
tenaga kerjanya. Sistem kontrak itu mengikat para pekerja dalam
waktu tertentu sesuai dengan perjanjiannya. Dalam sistem ini pekerja
mendapat imbalan upah dari pengusaha, sehingga menciptakan
tenaga kerja yang biasa disebut kuli karena hubungannya sangat
bersifat kolonialistik dan kapitalis. Sebuah hubungan yang seringkali
menyebabkan tindakan sewenang-wenang para pengusaha terhadap
para tenaga kerjanya. Kesewenangan itu tidak hanya terbatas dalam
penentuan upah yang rendah tetapi sering pula disertai dengan
tindakan kekerasan sebagaimana terjadi di Deli yang kemudian
dikenal dengan istilah poenale sanctie (sangsi pidana). Hukuman
yang dijatuhkan pada buruh perkebuan yang melanggar aturan
sangat keras dan tercantum dalam kontrak. Yang melanggar
mendapatkan hukuman denda atau kerja paksa melampaui jangka
waktu yang ada dalam kontrak perjanjian. 76
Sementara di Jember pola hubungan ketenagakerjaan yang
dibangun melahirkan hubungan paternalistik antara pengusaha
dengan tenaga kerjanya. 77 Hubungan ini dipengaruhi oleh pola
hubungan antara bapak Bapak kew
(authority) mutlak dan tuntas dalam mengatur kehidupan rumah
tangganya. Bapak sebagai kepala rumah tangga mengatur segala
74 Kedua daerah tersebut terletak di Kabupaten Situbondo.
75 Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth: An Economic
History of East Sumatra, 1863-1942 (Jakarta: Leknas LIPI, 1977), hlm.
34-42. Lihat juga Ann Laura Stoler, Kapitalisme, 2005. Lihat juga Karl
Pelzer, Sengketa Agraria, 1991.
76 Lihat Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi, hlm. 44.
77 Lihat pada Edi Burhan Ariin, “Emas Hijau”, hlm 43-44.