Page 41 - SEJARAH PERLAWANAN TERHADAP IMPREALISME DAN KOLOLISME DI DAERAH SULAWESI TENGGARA
P. 41
perlawanan selama itu berbentuk perang urat saraf/diploma-
tik. Kegagalan usaha melalui perundingan merobah bentuk
perlawanan menjadi perang fisik (dengan kekerasan).
Pada bulan Maret 1911 , datanglah tentara Belanda yang
dipimpin oleh Kapten De Jonge. Mereka mendarat di labu-A
dekat kampung Baru. Mereka langsung bergerak menuju
Toburi ibu kota Kerajaan Polea. Sampai di Toburi pasukan
Belanda segera mendarat. Akan tetapi sebelum mereka meng-
adakan penyerbuan, gerak pasukan Belanda telah diketahui.
Seorang laki-laki tua telah berlari menuju Istana Raja dan
mengabarkan keadaan yang dilihatnya kepada sang Raja.
Sangia Dowo sebagai raja dan sebagai Panglima Perang
segera memerintahkaB" pemimpin-pemimpin pasukannya
untuk mengadakan perlawanan. Maka terjadilah peperangan
yang sengit antara pasukan Polea dengan pasukan Belanda.
Pasukan kerajaan menem baki pasukan-pasukan Belanda
dengan meriam dan senapan yang mereka peroleh dari
Portugis. Di samping itu tempik sorak pasukan Polea yang
membelah angkasa telah membuat kepanikan pasukan-
pasukan Belanda. Karena pasukan Belanda tidak mengetahui
medan, maka atas perintah Kapten De Jonge, pasukan
Belanda mengundurkan diri dan membuat kemah/kubu per-
tahanan di pinggir kali La Ea.
Di sanapun mereka selalu dihujani dengan peluru ,
sehingga Kapten De Jonge terpaksa merobah taktik perang-
nya. De Jonge secara diam-diam memerintahkan anak buah-
nya untuk menghentikan tembakan balasan mereka sekalipun
mereka masih ditembaki musuh.
Tipu muslihat ini rupanya dapat menolong mereka
untuk sementara waktu, sambil De Jonge menyusun siasat
yang baru.
Sangia Dowo sebagai pimpinan pasukan Kerajaan
Polea menganggap bahwa tentara Belanda sudah mundur
meninggalkan kubu pertahanannya karean balasan tembakan
sudah tidak terdengar lagi.
32