Page 44 - SEJARAH PERLAWANAN TERHADAP IMPREALISME DAN KOLOLISME DI DAERAH SULAWESI TENGGARA
P. 44
3. PERLAWANAN MAATALAGI
a. Latar Belakang Perlawanan
Setelah Pemerintah Belanda berhasil menguasai Kerajaan
Buton dan merasa kedudukannya telah kuat. Buton dibagi-
bagi menjadi distrik-distrik. Masing-masing distrik dikepalai
oleh seorang Kepala Distrik.
Sebagai wilayah kerajaan, maka pengangkatan seorang
Kepala Distrik haruslah berdasarkan darah keturunan
penguasa Buton. Menurut tradisi Kerajaan Buton, untuk
menduduki jabatan Kepala Distrik haruslah dari golongan
Kaomu dan Walaka. Pembagian wilayah menjadi distrik-
distrik dan pengangkatan personalianya mulai berlaku dalam
tahun 1913.
Dalam struktur pemerintahan baru ini seorang Kepala
Distrik membawahi beberapa orang Buton (Menteri) dan
Lakina (Raja Kecil). Dengan demikian maka kedudukan
Kepala Distrik mutlak berada di atas Menteri dan kedudukan
Lakina lebih rendah dari Bonto Ogena (Menteri Besar),
sedang pada zaman pemerintahan kerajaan Bonto Ogena ini
mernpakan Kepala Pemerintahan Umum di Kerajaan Buton.
Untuk mendapatkan bentuk dan struktur pemerintahan
diberikan status adat dalam kerajaan sehingga Kepala Distrik
bentukan Belanda ini identik dengan jabatan adat.
Distrik bentukan Belanda ini identik dengan jabatan adat.
Seperti diketahui bahwa wilayah-wilayah Kerajaan
Buton yang disebut Kadie dahulunya dikuasai oleh Kaomu
dan Walaka tertentu berdasarkan garis keturunannya yang
disebut Pulanga.
Pada awal tahun 1914, La Ode Sambira diangkat oleh
Belanda menjadi Kepala Distrik Pasar Wajo (wilayah tam bang
aspal sekarang). Dari puluhan ribu rakyat Pasar Wajo, sekitar
50% disebut orang Lapora (kelompok Lapora) yang dalam
status sosialnya termasuk golongan rakyat biasa yang terkenal
dengan nama Papara.
35