Page 52 - SEJARAH PERLAWANAN TERHADAP IMPREALISME DAN KOLOLISME DI DAERAH SULAWESI TENGGARA
P. 52
Kerajaan Konawe sejak jamannya Wekoila telah berdiri
megah dan jaya serta menikmati kemerdekaan sampai masuknya
Belanda di daerah ini, tetapi Kerajaan Laiwoi memang tidak
berakar dalam masyarakat, dan tidak dihayati oleh rakyat
Konawe. Untuk mendapatkan data-data positif pihak Belanda
mengirim intelijen, guna menghubungi dan mengetahui usaha La
Mangu dan persetujuan tahun 1858, yaitu pembentukan kerajaan
Laiwoi dan dengan rajanya "La Mangu". Pihak Belanda merasa
kesal dan kecewa karena selama itu La Mangu tidak bisa berbuat
apa-apa. Perjanjian tinggal perjanjian. Kerajaan Laiwoi ternyata
baru merupakan kerajaan di atas kertas saja. Seluruh rakyat
Konawe yang terdiri dari daerah Una, Latoma, Abuki, Asaki,
RanomeEto, Sambara, Pondidaha dan Uepay tidak mengenal dan
tidak dahu menahu tentang Kerajaan Laiwoi. Hal itu merupakan
suatu problem yang sulit yang akan dihadapi Belanda. Kekuatan
Konawe dengan alat-alat persenjataan yang diperoleh dari Portugis
sebagai hasil perdagangan sebelum Belanda datang cukup banyak.
Oleh karena itu pihak Belanda merobah siasatnya. Kalau pihak
Belanda menaklukan Bone, dengan jalan mengerahkan kekuatan
bala tentaranya secara frontal, maka terhadap Konawe Belanda
tidak dapat berbuat seperti di Bone.
Belanda mengetahui pasti bahwa bila dengan kekuatan
senjata, Konawe akan mengangkat senjata dengan segala kekuatan
yang dimilikinya. Juga Belanda mengetahui pasti bahwa dari
kalangan ningrat/bangsawan sampai kepada rakyat biasa sangat
benci kehadiran bangsa-bangsa kulit putih (asing/barat) di negeri-
nya. Terpaksa pihak Belanda alih siasat, yaitu dari kekuatan
senjata beralih ke siasat merayu. Diplomasi, bujuk rayu, pecah
belah, adu domba ini adalah senjata yang lebih ampuh.
Pemerintah Belanda dengan hati-hati melaksanakan rencana-
nya untuk mewujudkan berdirinya kerajaan Laiwoi. Beberapa
bangsawan di RanomeEto dan Sambara didekati dan dibujuk
untuk mendukung rencana Belanda. Demikian pula Sao-Sao dan
Haji Taata telah memihak kepada Belanda. Utusan Belanda pada
Sao-Sao dan Haji Taata mengadakan perundingan-perundingan
rahasia un tuk menyusun siasat yang sangat berhati-hati, lalu
kemudian lahirlah perundingan Malowe tahun 1909. Sebelum
43