Page 63 - SEJARAH PERLAWANAN TERHADAP IMPREALISME DAN KOLOLISME DI DAERAH SULAWESI TENGGARA
P. 63

Belanda,  diancam  akan  ditangkap  dan  dipenjarakan,  jika perlu
           hukuman  tembak  mati.  Rakyat  Konawe  terpaksa  menerima
           kehadiran  Belanda  dan  kerajaan  Laiwoi  dengan  secara  dingin.
           Pihak  Belanda  mengetahui hal  ini  dan  berusaha  menumpas setiap
           usaha yang berlawanan dengan keinginan dan kepentingan kolonial
           Belanda.  Pihak  Belanda  tetap  waspada  karena  sewaktu-waktu
           pemberontakan  rakyat  bisa  timbul.  Ketika  Karaeng  "Watukila"
           kembali  dari  pembuangannya  bersama  tawanan-tawanan  dalam
           perang  Konawe  tahun  1910,  pihak  kolonial  lebih  meningkatkan
           kewaspadaan.

                Pihak  Belanda  tetap  khawatir  terhadap Karaeng  "Watukila"
           karena  itu  pihak  Belanda  senantiasa  mencurigainya.  Sewaktu-
           waktu ia dapat menghilang, terlepas dari tahanan dan menghimpun
           kekuatan untuk melawan. Belanda berusaha menjinakkan Karaeng
           "Watukila"  agar  mau  kerja  sama  dengan  pihak  Belanda  tetapi
           kenyataannya  Karaeng  "Watukila"  tetap  menolak  uluran  tangan
           Belanda.  Untuk  mengukuhkan  pengangkatan  Sao-Sao  menjadi
           Raja  Laiwoi,  Belanda  telah  mengatur  siasat  perkawinan  politik
           yaitu  Karaeng  "Watukila"  dikawinkan  dengan  putri  pertama
           Sao-Sao  yang  bernama  Wasela.  Perkawinan  ini  tidak  membawa
           keredaan  politik  dalam  negeri,  bahkan  eksesnya  Jebih  meluas
           ke tempat-tempat yang Jain  misalnya di  bagian selatan Konawe.
                Perlawanan  kerajaan  Konawe  tidak  saja  terjadi  di  pusat
           kerajaan  di  Una  (Tongauna)  tetapi  terjadi  pula  di  daerah-daerah
           antara  lain  di  Manumehewu,  di  Palangga,  di  Wawowonua  Baito
           dan di Wuu  Ura/Motaha.
                Di  Manumohewu  di  suatu  tempat  yang  disebut  Windo,
           telah  dipersiapkan  pertahanan  untuk  melawan  terhadap  Belanda.
           Pasukan  yang  jumlahnya  relatif  kecil  dipimpin  oleh  seorang
           tamalaki  (perwira)  yang  bernama  " Lapadi"  dan  dibantu  oleh
           puterinya.
                Didirikanlah  sebuah  benteng  batu  yang  berbentuk  empat
           persegi  dengan  panjang  sisi  kurang Jebih  15  meter.  Sekitar  I  km,
           dari  benteng  pertahanan  ditempatkan  suatu  pos  pertahanan
           pertama  yang akan  menyergap iring-iringan  musuh, agar memberi
           kesempatan  bagi  pertahanan  utama  untuk  menyiapkan  diri
           menghadapi serangan.

           54
   58   59   60   61   62   63   64   65   66   67   68