Page 29 - (New Flip) Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
P. 29
Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
tentang keteguhan tekad dalam mempertahankan kemerdekaan, tetapi
seketika ―negeri asing‖ (bukankah seorang sejarawan, Hartley, pernah
mengatakan bahwa ―the past is a foreign country‖?) yang disebut
―sejarah‖ itu telah didekati, maka ternyata juga ―orang berbuat yang
aneh-aneh di sana‖ (kalau ungkapan yang diperkenalkan sang
sejarawan asing ini diteruskan). Seketika realitas masa lalu telah
semakin didekati, maka ternyatalah pula betapa revolusi adalah suatu
situasi ketika unsur-unsur konflik yang telah lama tersimpan
mendapatkan saluran yang leluasa. Kalau saluran itu telah dipakai, maka
siapa pun akan menyadari juga kompleksitas dari jalan yang harus
dilalui meskipun gerbang kemerdekaan telah dilewati.
Begitulah ketika berita Proklamasi sampai pulau Bali dua situasi
seperti muncul begitu saja. Di kalangan pemuda kegairahan
nasionalisme segera bangkit dan organisasi Pemuda Pembela Negara
pun didirikan. Tetapi di saat itu pula kekuatiran muncul di sebagian
kaum raja-raja. Bukankah dalam situasi yang telah mulai
memperlihatkan gejala yang serba tak menentu itu apa saja bisa terjadi?
Entah telah direncanakan, entah terbawa oleh semangat revolusi tetapi
yang jelas pada tanggal 20 September1945 raja Gianyar diculik. Maka
pintu konflik antara para pemuda revolusioner dengan kaum raja-raja
pun seperti terbuka dengan begitu saja. Situasi sosial pun semakin
bertambah parah karena meskipun pada tanggal 8 Oktober Jepang
telah menyerahkan kekuasaan pada Gubernur Propinsi Kepulauan Sunda
Kecil, tetapi dalam waktu yang hampir bersamaan (pada tanggal 27
Oktober) Belanda mendarat di Buleleng. Ketika pada awal November
BKR, yang kemudian menjadi TKR, didirikan, konflik anti-kolonial telah
dengan begitu saja terpaut dalam suasana revolusi sosial.
Memang benar kalau dikatakan bahwa di masa-masa awal
revolusi di samping Jawa, maka Sumatra adalah wilayah Republik
yang terlama bisa bertahan. Tetapi berbagai corak tantangan internal
harus dihadapi juga. Meskipun Mr. Teuku Mohamad Hasan, sang
Gubernur, telah sampai di kota Medan, ibukota propinsi Sumatra pada
tanggal 29 Agustus 1945, tetapi selama beberapa hari seperti tidak
terjadi apa-apa. Padahal, ketika itu di Padang, Bukitinggi dan
Palembang, pemerintahan yang mengklaim diri sebagai bagian dari
Republik Indonesia telah berdiri. Dalam suasana yang dirasakan sebagai
kekosongan itulah, Dr. A.K. Gani, seorang perantau-intelektual
Minang, yang telah menjadikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat
17