Page 31 - (New Flip) Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
P. 31
Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
memperebutkan kekuasaan di kesultanan Riau-Johor—menyatakan
kesetiaannya kepada Republik Indonesia. Atas seizin residen Riau, pada
bulan November 1945, Sultan Syarif Kasim II pergi ke Medan untuk
menyerahkan fl. 13.000.000 kepada Gubernur Sumatra. Dengan
sumbangan ini, sang Sultan bukan saja ingin membantu perjuangan
tetapi juga memperlihatkan kesetiaannya pada Republik Indonesia.
Iapun diungsikan ke Aceh, keresidenan Republik yang tetap kokoh
berdiri, betapapun daerah tetangganya telah dianggap beraliansi
dengan kekuatan kolonial. Ketika waktunya telah datang, sang Sultan
pun sempat juga menyerahkan mahkotanya yang bertahtakan permata
kepada Presiden Sukarno. Pernyataan kesetiaannya kepada Republik
kemudian juga didukung oleh raja-raja Riau yang lain. Maka mestikah
diherankan kalau kini lapangan udara dan UIN Pekan Baru memakai
nama sang Sultan yang nasionalis dan patriotik ini?
Kalau diingat-ingat, pilihan sultan Siak untuk menjadikan Aceh
sebagai tempat tinggalnya di tengah-tengah gelora revolusi yang telah
menyebar ke Riau adalah sebuah keputusan yang penuh resiko.
Memang benar keselamatannya lebih terjamin dari kemungkinan
serangan kekuatan anti-revolusi, tetapi Kutaraja (yang kini bernama
Banda Aceh) adalah pula medan persaingan antara uluebalang, para
bangsawan/kepala daerah, dengan para ulama. Seketika pemerintah
Republik didirikan di Kutaraja pada bulan Oktober 1945, dengan
dukungan kerjasama ulama dan uluebalang, di waktu itu pula sebagian
uluebalang di daerah Pidie menentang kehadiran Republik. Pertempuran
antara pendukung ulama dan uluebalang pun tak terelakkan bahkan
berkecamuk. Pada bulan Januari 1946, apa yang dikenal sebagai Perang
Cumbok pun berakhir. Kaum uluebalang yang dicurigai sebagai
pendukung Belanda telah dihancurkan, tetapi sikap negatif kaum ulama
dan para pendukung mereka terhadap kaum uluebalang tak berhenti.
Pada bulan Februari 1946, para pendukung kaum ulama, di bawah
pimpinan Al Mudjadid, mendirikan Tentara Perjuangan Rakyat, dengan
tujuan yang sederhana saja, yaitu menghancurkan kekuatan para
uluebalang. Ketika mereka telah melancarkan aksi, menuju utara ke arah
Kutaraja, sepanjang perjalanan ratusan keluarga uluebalang harus
menemui Sang Pencipta atau diasingkan ke Aceh Tengah. Sejak itu,
Aceh sepenuhnya berada di bawah kekuasaan golongan ulama dan
Aceh adalah pula satu-satu keresidenan yang bersih (kecuali Sabang)
dari injakan pasukan kolonial yang ingin kembali.
19