Page 52 - Tenggelamnya Kapal
P. 52
dilihatnya pakaian gadis-gadis lain yang berkeliaran dalam rumah itu menandangi Khadijah,
terasa benar olehnya rendahnya. Dia -hanya memakai baju berkurung panjang, selendang yang
tiada pernah tanggal dari kepala, sedang kawan-kawannya yang lain, di antaranya Khadijah,
setengahnya memakai rok, setengahnya berbaju kebaya Bandung yang dijahit menurut model
yang paling baru.
Tetapi kaku dan bingung itu hanya sehari dua hari, di hari yang ketiga sudah mulai agak hilang,
meskipuri masih berkesan.
Semalam sebelum datang waktunya orang berpacu, Khadijah telah mengatur perjalanan mereka
beresok, akan diambil beberapa kursi di tribune, mereka akan duduk menonton di sana. Tiga
orang anak gadis keluarganya dari Lubuk Alung dan dari Bukittinggi, akan turut, dan akan
ditemani oleh Aziz sendiri dan 4orang temannya pula, jadi sepasang-sepasang. [80]
Besoknya pagi-pagi, mereka telah bangun. Khadijah tengah asyik berhias di dalam kamarnya,
Hayati telah membuka bungkusannya pula, dikeluarkannya selendang sutera yang bersuji
tepinya, baju berkurung benang sering yang halus, sarung batik Pekalongan dan selop. Aziz
duduk di luar sambil bersiul; tidak berapa lama kemudian datanglah teman-temannya; yang
seorang mengepit pesawat "kodak," yang seorang pula membawa teropong kecil, untuk pelihat
kuda, yang berdua lagi kegagahan, yang seorang mengatasi yang lain.
Setelah selesai, keluarlah kedua gadis itu dari kamar masingmasing. Mak-tengah Limah pun
telah ke luar pula bersama ibu Khadijah, hendak melihat gadis-gadis itu. Demi setelah bertemu
di beranda muka, Khadijah terkejut melihat pakaian kawannya. Setelah tercengang beberapa
lamanya dia berkata:
"Pakaian apa yang kau pakai ini, Hayati? Apakah kau hendak sebagai "lepat" dibungkus?"
Hayati melihat kepada Khadijah tenang-renang. Tercengang dia melihat pakaian yang dipakai
sahabatnya itu: Kebaya pendek yang jarang, dari poal halus, dadanya terbuka seperempat,
menurut mode yang paling baru. Kutang pun model baru pula, sehingga agak jelas pangkal
susu, dan tidak memakai selendang. Sarung ialah batik Pekalongan halus, berselop tinggi tumit
pula, di tangan memegang sebuah tas, yang di dalamnya cukup tersimpan cermin dan pupur.
Sedangkan dia sendiri, Hayati berpakaian jauh bedanya dari itu, pakaian cara kampung.
Merengut Khadijah sekali: "Lebih baik. kau pergi ke surau saja. Hayati, jangan ke pacuan!"
"Saya malu memakai pakaian demikian, Khadijah, tidak cocok dengan diriku, aku tak biasa."
"Itulah yang akan dibiasakan."
"Pakaian begini tak diadatkan di negeri kita."
"Dahulu yang tidak, kini inilah pakaian yang lazim."
"Saya tidak mau membuka rambut." [81]
"Membuka rambut apakah salahnya? Bukankah panas kalau selalu ditutup saja?"
"Sebetulnya saya tidak mempunyai pakaian yang demikian," kata Hayati pula.
"Itu gampang pakailah pakaianku, itu tersedia dalam lemari, berapa saja kau mau."
Setelah bertengkar-tengkar, yang hampir saja menyebabkan Hayati tak jadi pergi, tetapi
mengingat hendak bertemu dengan Zainuddin nanti, dipakainya juga pakaian itu. Mula-mula
mengalir keringat di dahinya karena belum biasa. Berat baginya hendak membuka selendang
yang telah melilit kepalanya, geli seluruh badannya akan menyinggung baju yang masih ganjil