Page 158 - kebudayaan
P. 158
tah pusat. Raben (2011) mengungkapkan bahwa pada 1950-an retorika
politik yang muncul adalah di daerah—sebagai bagian dari wilayah
kepulauan—menantang kekuasaan pemerintah pusat, khususnya
daerah-daerah yang terlibat pemberontakan Permesta dan PRRI di
Sulawesi pada Maret 1957, dan di Sumatra Barat setahun kemudian.
Peristiwa dan situasi ini ditransformasi Hamka ke dalam puisi
yang ditujukan untuk sahabatnya M. Natsir.
Di pertengahan 1950-an…
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di depan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Larik pertama “di pertengahan 1950-an” yang disuguhkan Hamka
menyiratkan bahwa ide-ide yang disampaikannya itu adalah peristiwa
yang berlatar pertengahan 1950-an, tepatnya tahun 1957. Seperti telah
disinggung, puisi ini ditulis Hamka pada 13 November 1957 setelah
mendengar uraian pidato M. Natsir yang dengan tegas mengusulkan
kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar
negara Republik Indonesia. Larik-larik berikutnya yang berbunyi “...
meskipun bersilang keris di leher/berkilat pedang di depan matamu/
namun yang benar kausebut benar.” menyiratkan kekaguman Hamka
pada M. Natsir.
Rasa kebangsaan yang kuat dari Natsir juga dikagumi Hamka.
Kekaguman Hamka muncul ketika menyaksikan sendiri apa yang
diucapkan oleh Natsir dalam pidatonya. Saat itu dengan tegas ia
menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam Buku ini tidak diperjualbelikan.
sebagai dasar negara Republik Indonesia. Natsir berkata, “Jika diban-
dingkan sekularisme yang sebaik-baiknya pun, maka agama masih
lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Setinggi-tinggi tujuan
hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh
“Kepada Saudaraku M. Natsir“ ... 145