Page 159 - kebudayaan
P. 159
sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut humanity
(perikemanusiaan)” (Husaini, 2014).
Isi dan tujuan pidato Natsir kembali diramu oleh Hamka dalam
bait-bait puisinya. Seperti dikemukakan Noer (1983), Hamka menggu-
nakan Islam sebagai dasar seluruh karya dan tindakannya. Bagi Hamka,
terlihat bahwa M. Natsir yang islami memegang teguh perkataan
bahwa yang benar itu tetap benar. Untuk itu, Hamka menyampaikan
langsung dalam kalimat yang tak bersayap dalam bait pertama puisi
untuk Natsir, “...namun yang benar kau sebut juga benar.”
Hamka memandang sejarah Indonesia melalui dimensi Islam
yang ajarannya ia yakini membentuk sikap serta karakter sebagian
besar rakyat Indonesia. Jika nada dalam puisi adalah sikap tertentu
penyair terhadap pembaca, seperti menggurui menyindir, menasihati,
mengejek, dan lainnya (Waluyo, 1987), terlihat bahwa nada puisi yang
berjudul “Kepada Saudaraku M. Natsir” merupakan sebuah nasihat
Hamka kepada pembaca puisinya bahwa bagaimana pun peliknya
hal yang dihadapi atau rumitnya keputusan haruslah disampaikan
sesuai apa adanya. Tendens yang tak kalah pentingnya adalah agar
pembaca senantiasa menguatkan iman dan mengokohkan hati dalam
menjalankan kehidupan sebagai bangsa yang merdeka. Bagi Hamka
(2016), merdeka adalah suatu kebanggaan. Rasa kebanggaan inilah
yang dibangkitkan orang apabila bangsanya hendak dinaikkan pada
derajat yang tinggi dan kedudukan yang mulia di antara bangsa-bangsa
lainnya.
Tawaran yang tegas dalam pidato M. Natsir untuk menjadikan
Islam sebagai dasar negara adalah hal fundamental yang menentukan Buku ini tidak diperjualbelikan.
arah dan tujuan sebuah bangsa yang merdeka. Sebagai bangsa yang
mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, Natsir berharap agar
dasar negaranya berdasar pada nilai-nilai Islam.
146 Narasi Kebangsaan dalam ...