Page 193 - kebudayaan
P. 193

untuk dijadikan pekerja rodi atau kuli kontrak. Hanya edukasi atau
            pendidikan yang dirasakan manfaatnya bagi sebagian bumiputra.
            Pieter Brooshooft kemudian mempersoalkan penderitaan kaum buruh
            khususnya kuli kontrak maskapai perkebunan di Sumatra. Menurut
            Undang-Undang Perburuhan 1880 (koeli ordonnantie), majikan ber-
            hak menghukum kuli yang dikontrak bila ketentuan kontrak kerjanya
            dilanggar (poenale sanctie) (Simbolon, 2007).
                Kebijakan edukasi dalam politik etis selain mencetak kaum
            terpelajar, telah pula mencetak pekerja kasar dan pegawai rendah
            (civil servant) untuk administratur kolonial (ambtenaar atau pribumi
            pegawai negeri Belanda) dengan upah murah. Kaum terpelajar bu-
            miputra kala itu pun mengalami perubahan gaya hidup seperti orang
            Eropa yang berakibat putusnya sebagian hubungan sosial mereka
            dengan masyarakat sekitarnya. Mereka menjadi tidak tanggap atas
            kondisi sosial masyarakatnya. Alhasil pendidikan kolonial menjadi
            diskriminatif, berdampak negatif pada kultur dan sosial Indonesia, dan
            tidak menjangkau seluruh kalangan masyarakat. Output pendidikan
            kolonial adalah tenaga terampil untuk memenuhi kebutuhan imperial-
            isme-kolonialisme. Ini yang kemudian dikritik oleh Tan Malaka dalam
            bukunya Madilog: Materialisme, Dialog, dan Logika (1951). Hastantyo
            (2018) menyatakan bahwa dalam bukunya Tan Malaka mengatakan,
            “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap
            dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat
            yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang seder-
            hana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”
            Sementara itu, Ki Hajar Dewantara mengkritisi pendidikan bercorak   Buku ini tidak diperjualbelikan.
            Barat yang melahirkan sifat intelektualistis (berpikir dan tahu semata,
            tetapi tidak mengamalkannya), individualistis atau mengagungkan
            diri sendiri sehingga mengabaikan sesama, serta materialistis atau
            mengutamakan kenikmatan hidup dan tidak menghargai nilai-nilai
            kebatinan (Hastantyo, 2018).





          180    Narasi Kebangsaan dalam ...
   188   189   190   191   192   193   194   195   196   197   198