Page 196 - kebudayaan
P. 196

perbudakannya secara resmi berakhir tahun 1870, kendati untuk gula
              berangsur hilang antara tahun 1878–1890, sedangkan untuk kopi
              sampai tahun 1917. Terbitnya Undang-Undang Agraria (Agrarische
              Wet) dan Undang-Undang Gula (Suiker Wet), keduanya di tahun 1870
              menandai akhir Cultuurstelsel. UU Gula mengakhiri pertanian tebu
              dan pabrik gula milik pemerintah Belanda, sedangkan UU Agraria
              mengakui sistem hak milik bumiputra atas tanah.
                  Sebelumnya, kecaman dari dunia sastra untuk Cultuurstelsel atau
              sistem Tanam Paksa telah muncul melalui buku novel Max Havelaar
              karangan Multatuli yang terbit tahun 1860 dalam bahasa Belanda.
              Multatuli atau Eduard Douwes Dekker adalah seorang Belgia bekas
              Asisten Residen di Lebak, Banten. Multatuli (bahasa Latin, artinya
              “yang banyak menderita”) dalam Max Havelaar mengeritik keras
              perbudakan atau Tanam Paksa melalui Cultuurstelsel. Melalui Max
              Havelaar ditunjukkan kepada masyarakat Nederland dan pemerintah
              jajahan bahwa Tanam Paksa sangat kejam dan jahat, dan kejahatan
              itu akan terus berlanjut selama kerancuan yang terkandung dalam
              pola pemerintahan jajahan warisan Van den Bosch tidak dihilangkan
              (Simbolon, 2007:145–148).
                  HB Jassin menerjemahkan Max Havelaar dari bahasa Belanda
              ke dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1972. Novel ini kemudian
              dialihwahanakan ke dalam bentuk film layar lebar pada 1976 oleh
              Fons Rademakers sebagai bagian dari kemitraan Belanda-Indonesia.
              Namun, sampai tahun 1987 film Max Havelaar tidak diizinkan ta yang
              di Indonesia (Simbolon, 2007).

                  Kembali ke topik bahasan, yaitu roman Hikayat Siti Mariah     Buku ini tidak diperjualbelikan.
              (HSM).  Pramoedya Ananta Toer (1980 dalam Kratz, 2000: xx)
              mengklasifiksikan novel HSM sebagai sastra pra-Indonesia. Menurut
              Kratz (2000), teks HSM pernah dicap ‘liar’. Terbitan ‘liar’ itu selama ini
              diabaikan oleh pembaca Indonesia, baik karena alasan politik maupun
              karena dianggap tidak cocok dengan ukuran yang baku. Kebijakan




                                                     Kebangsaan pada Era ...  183
   191   192   193   194   195   196   197   198   199   200   201