Page 203 - kebudayaan
P. 203
Betawi. [...]. Mariah sudah besar. Di sini tergoda segala orang kafir.
Segala pantangan haram percuma belaka. Geger nanti. Tak mudah
melanggar hukum agama (Mukti, 1987, 60–61).
Rencana Joyopranoto hendak menikahkan Siti Mariah dengan
Sondari dari Betawi—walaupun mereka masih saudara—membuat
Waginah bertengkar hebat dengan suaminya. Waginah sampai-sampai
balik menuduh Joyopranoto suaminya menjadi kafir setelah belajar
ilmu agama dari Haji Ibrahim.
Sudah berbulan-bulan Joyopranoto memperdalam agamanya, berguru
pada Haji Ibrahim dari Banyumas. Sekarang ia tak pernah lepaskan
Qur’an. Tiap malam ia bersembahyang, membuka bacaan, dan seminggu
dua kali gurunya, Haji Ibrahim, datang. Bersama-sama mereka membaca
Qur’an... (Mukti, 1987: 60).
Waginah, istri Joyopranoto, dengan panas hati berdiri dari
kursinya dan melabrak suaminya.
O, Kang, hasil betul sekolahmu. Gejos! Kalau gurumu Haji Ibrahim
berani injak rumah ini lagi, pasti saya hajar dia. Apa dikira saya tidak
berani? Guru dan murid sudah sama gejosnya. Mengerti, Joyo gejos!?
Sondari mau dikawinkan dengan Mariah! Apa Sondari mau? Apa ...
sudah banyak pekerjaan pabrik kang serahkan pada mandor lain.
Pergaulan dengan tuan-tuan dilupakan. Sesat pikiranmu, gejos! Maria
sendiri tadi sudah buka rahasia pada saya. Dia tidak mencintai Sondari,
tapi orang lain (Mukti, 1987: 61).
Paham radikalisme memengaruhi pikiran Joyopranoto yang
sudah bekerja dengan baik dan setia selama 25 tahun di pabrik gula Buku ini tidak diperjualbelikan.
milik orang Belanda itu. Ia pun mulai menunjukkan gelagat aneh. Hasil
pekerjaannya menjadi sangat buruk sehingga merugikan perusahaan.
Ia sering melalaikan tugas dan meninggalkan pekerjaannya di pabrik
tanpa permisi. Pukul 11 malam baru ia kembali ke pabrik setelah
190 Narasi Kebangsaan dalam ...