Page 206 - kebudayaan
P. 206
tempatnya bekerja. Mereka bekerja di bawah orang Belanda dengan
kondisi sosial ekonomi yang tentu memprihatinkan.
Waginah, istri Joyopranoto, melihat sikap baru suaminya sebagai
suatu yang sesat. Ia menentang Joyopranoto dan berani berkata tegas,
bahkan kasar, melampaui kepatutan seorang perempuan Jawa terhadap
suaminya.
Eh, Joyo, otakmu sudah miring? Mariah anak siapa? Kan anak tuan
Kontrolir? Kita kan cuma pungut saja? Ada halangan apa anak Belanda
punya laki Belanda? Tuan Dam tulen, kafir, Sondari Belanda peranakan,
bukan kafir. Siapa ajarkan aturan seperti itu? Tolol! Aturan gejos. Kalau
Belanda dikatakan kafir, tak ada guna kita bekerja pada mereka. Kita
menerima upah dari mereka. Harta-benda kita sendiri berasal dari Be-
landa. Dengan sendirinya haram! Saya lebih suka menyerahkan Mariah
pada tuan Dam. Mereka cinta mencintai. Tak ada halangan seujung
rambut dibelah seratus. Akang mau larang? (Mukti, 1987: 61–62).
Pengarang seakan mendukung tudingan tokoh Waginah terhadap
suaminya yang disebut sudah sesat.
Guru Joyopranoto, Haji Ibrahim, memang bukan guru betul. Ia banyak
kali salah menafsirkan ajaran agama. Joyopranoto ikut dengan kesalahan
gurunya. Dahulu ia biasa bermufakat dan sependirian dengan bininya.
Malah sering kali menuruti kemauannya. Sekarang lain. Juga karena
gurunya sekarang mencari-cari obat dukun buat anaknya. [...]. Maka
tetaplah maksud Joyopranoto yang sudah kehilangan akal itu. Ia
bermaksud menyingkirkan anaknya dari lingkungan pabrik, hendak
disembunyikan di desa (Mukti, 1987: 62). Buku ini tidak diperjualbelikan.
Sikap tokoh Joyopranoto masih relevan dengan kondisi saat ini
padahal roman HSM diterbitkan pertama kali 100 tahun lalu atau
pada 1910 dalam bentuk cerita bersambung. Dalam hal ini, roman
HSM telah membuktikan sifatnya yang unik yang terkait dengan tiga
dimensi waktu, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Arti-
Kebangsaan pada Era ... 193