Page 47 - kebudayaan
P. 47
Makassar Anpannassai Karaeng Ujung Moncong (Mappangara, 1990),
Lontarak Banrimanurung (Hamid, 1990) dan Tolokna Daeng Palie
(1987).
Orang Bugis dan Makassar yang beranak-pinak di tanah Melayu,
khususnya di Riau, juga memiliki rekaman sejarah dalam bentuk
naskah. Sebagai contoh, Silsilah Melayu dan Bugis (Yusof, 1982),
Tuhfat An-Nafis (Matheson, 1982), dan Hikayat Daeng Menambun
(Hamid & Rogayah, 1980), dan Syair Perang Mengkasar (SPM) (Skin-
ner, 2008). Dari beberapa naskah itu, dipilih satu naskah sebagai data
protonasionalisme melalui penjajahan (kolonialisme) Belanda dan
kepahlawanan (heroisme) yang direpresentasikan dalam SPM.
SPM dipilih karena syair itu tergolong sastra sejarah. Sebagai
sastra sejarah, di dalam naskah itu terkandung unsur sejarah. Liaw
(1982) menyatakan bahwa sastra sejarah atau historiografi tradisional
banyak mengandung sejarah sebagai salah satu unsur ceritanya. Unsur
sejarah itu biasanya dibungkus dengan mitos. Unsur sejarah berkaitan
dengan peristiwa dan tokoh sejarah. Salah satu unsur sejarah yang
kuat dalam naskah itu adalah kolonialisme Belanda dan semangat
kebangsaan dari sudut pandang suku Makassar, suku yang mati-
matian melawan kolonialisme Belanda. Di samping itu, naskah ini
juga mempunyai gaya bahasa yang memperlihatkan karakteristiknya.
Dalam beberapa bagian, bangsa Belanda dicaci-maki dengan gaya
bahasa sarkastis. Kata-kata keras dan kasar ditujukan kepada kaum
Belanda yang dianggap musuh besar.
SPM menceritakan perjuangan Sultan Hasanuddin, Sultan Gowa,
melawan Belanda yang akan menginvasi kerajaannya dan akhirnya Buku ini tidak diperjualbelikan.
terjadi peperangan. Peperangan ini terjadi antara tahun 1666–1669
dan disebut Perang Makassar. Dalam perang tersebut, pihak Makassar
terdiri atas Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kerajaan Gowa dibantu
oleh suku Melayu, Wajo, Mandar, Bima, Sumbawa, Dompu, dan
Minangkabau. Di samping itu, Portugis yang mempunyai kepentingan
34 Narasi Kebangsaan dalam ...