Page 106 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 106
http://pustaka-indo.blogspot.com
tuhan lain seperti ini sebagai sikap keagamaan yang baru.
Paganisme pada dasarnya merupakan sebuah keyakinan
yang toleran: kultus-kultus lama tidak merasa terancam oleh
kedatangan tuhan baru, selalu ada ruang bagi tuhan-tuhan
lain di dalam kuil untuk berjejer bersama sesembahan
tradisional. Bahkan, ketika ideologi baru Zaman Kapak
menggantikan penyembahan tuhan-tuhan lama, tidak terdapat
penolakan yang kasar terhadap dewa-dewa kuno. Kita telah
melihat bahwa di dalam Hinduisme dan Buddhisme, orang
dianjurkan untuk melampaui dewa-dewa daripada mencaci
mereka. Namun, nabi-nabi Israel tidak mampu mengambil
sikap lunak terhadap dewa-dewa yang mereka pandang
sebagai saingan Yahweh. Dalam kitab suci Yahudi, dosa
“pemberhalaan”, penyembahan tuhan-tuhan “palsu”,
dianggap menjijikkan. Ini adalah reaksi yang, mungkin, mirip
dengan kebencian yang dirasakan sebagian Bapa gereja
terhadap seksualitas. Dengan demikian, itu bukan reaksi
yang rasional dan penuh pertimbangan, melainkan ungkapan
kecemasan mendalam dan ketakutan. Apakah nabi-nabi ini
mempunyai kekhawatiran terpendam tentang perilaku
keagamaan mereka sendiri? Apakah mereka, barangkali,
secara tak nyaman menyadari bahwa konsepsi mereka
sendiri tentang Yahweh serupa dengan berhala kaum pagan,
karena mereka menciptakan tuhan dalam citra mereka
sendiri?
Perbandingan dengan sikap orang Kristen terhadap
seksualitas dapat menerangkan hal yang lain. Dalam soal ini,
kebanyakan orang Israel secara implisit percaya kepada
eksistensi tuhan-tuhan pagan. Adalah benar bahwa lambat
laun Yahweh mengambil alih fungsi Elohim orang Kanaan
dalam beberapa hal: Hosea, misalnya, mencoba
berargumentasi bahwa Yahweh merupakan dewa kesuburan
yang lebih baik daripada Baal. Namun, jelas sulit bagi
~99~ (pustaka-indo)