Page 107 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 107
http://pustaka-indo.blogspot.com
Yahweh yang telah terlanjur dikonsepsikan dalam citra
maskulin untuk mengambil alih fungsi dewi semacam
Asyera, Isytar, dan Anat, yang masih memiliki banyak
penganut di kalangan orang Israel, terutama yang
perempuan. Walaupun kaum monoteis akan bersikeras
bahwa Tuhan mereka melampaui batasan gender, dia tetap
pada dasarnya lelaki, meski kita akan saksikan ada beberapa
kalangan yang mencoba memperbaiki ketidakseimbangan ini.
Hal ini sebagian karena akarnya sebagai dewa perang
kesukuan. Namun demikian, perselisihan soal ini
merefleksikan karakter yang kurang positif dari Zaman
Kapak, yang secara umum memandang rendah status
perempuan.
Tampaknya di dalam masyarakat yang lebih primitif,
perempuan terkadang memiliki status lebih tinggi daripada
laki-laki. Prestise dewi-dewi besar dalam agama tradisional
merefleksikan penghormatan terhadap kaum perempuan.
Akan tetapi, tumbuhnya perkotaan membuat kualitas-kualitas
maskulin, seperti kekuatan fisik dan pertahanan diri lebih
dihargai daripada karakteristik feminin. Sejak saat itu, kaum
perempuan mulai terpinggirkan dan menjadi warga kelas dua
dalam peradaban baru Oikumene. Posisi mereka sangat
jelek di Yunani, misalnya—sebuah fakta yang harus diingat
oleh Barat bila mereka mencela perilaku paternalistik orang
Timur. Cita-cita demokratis tidak menjangkau kaum
perempuan di Athena, yang hidup dalam keterkucilan dan
dihinakan sebagai makhluk inferior. Masyarakat Israel juga
menjadi lebih bernada maskulin. Pada masa-masa awal,
kaum perempuan memiliki kekuatan dan dapat menempatkan
diri mereka sejajar dengan suami mereka. Beberapa di
antaranya, seperti Deborah, telah memimpin pasukan di
medan perang. Orang Israel selalu mengagungkan
pahlawan-pahlawan perempuan mereka, seperti Judith dan
~100~ (pustaka-indo)