Page 118 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 118
http://pustaka-indo.blogspot.com
tradisi Deuteronomis yang citranya tentang Tuhan lebih
bersahabat, memandang pertemuan dengan Yahweh sebagai
konfrontasi yang kasar: dia membuat Musa menjelaskan
kepada orang-orang Israel, yang dikagetkan oleh
kemungkinan pertemuan tanpa perantara dengan Yahweh,
bahwa Tuhan akan mengutus kepada mereka seorang nabi
pada setiap generasi untuk memikul bagian terberat dari
tugas ilahiah.
Belum ada satu pun yang bisa diperbandingkan dengan
Atman, kedekatan ilahi yang prinsipil, dalam kultus Yahweh.
Yahweh dialami sebagai sebuah realitas luar yang jauh. Dia
perlu memanusiawi melalui suatu cara agar keterasingannya
berkurang. Situasi politik pada masa itu sedang memburuk.
Orang-orang Babilonia menginvasi Yehuda lalu mengusir raja
dan kelompok pertama orang Israel ke pengasingan;
akhirnya Yerusalem pun terkepung. Ketika keadaan semakin
parah, Yeremia melanjutkan tradisi penisbahan emosi
manusia kepada Yahweh: dia membuat Tuhan meratapi
ketunawismaan, penderitaan, dan kesedihannya sendiri;
Yahweh merasa sama nestapa, susah, dan terbuangnya
dengan umatnya; sebagaimana mereka, dia juga tampak
bingung, teralienasi, dan lumpuh. Kemarahan yang dirasa
Yeremia membakar hatinya bukanlah perasaannya sendiri,
45
melainkan berasal dari kegusaran Yahweh. Ketika para
nabi berpikir tentang “manusia”, mereka dengan sendirinya
juga berpikir tentang “Tuhan”, yang kehadirannya di dunia
tampak terkait erat dengan umatnya. Bahkan, Tuhan
bergantung kepada manusia ketika dia ingin bertindak di
dunia—sebuah gagasan yang kemudian menjadi sangat
penting dalam konsepsi Yahudi tentang Tuhan. Banyak
isyarat yang menunjukkan bahwa manusia bisa merasakan
aktivitas Tuhan dalam emosi dan pengalaman mereka sendiri,
bahwa Tuhan merupakan bagian dari kondisi kemanusiaan.
~111~ (pustaka-indo)