Page 140 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 140

http://pustaka-indo.blogspot.com
             seperti  akan  kita  saksikan,  menerima  pembedaan  antara
             “esensi”  Tuhan  yang  tak  dapat  diketahui  dengan  “energi”
             yang  membuatnya  dapat  kita  kenali.  Mereka  juga  akan
             dipengaruhi oleh teorinya tentang logos ilahi. Seperti halnya
             para  penulis  hikmat,  Philo  membayangkan  bahwa  Tuhan
             telah  membentuk  sebuah  rancangan  dasar  (logos)
             penciptaan,  yang  bersesuaian  dengan  alam  bentuk-bentuk
             Plato.  Sekali  lagi,  Philo  tidak  selalu  konsisten.  Kadang  kala
             dia  menyatakan  bahwa  logos  adalah  salah  satu  dari  kuasa
             itu; pada saat lain dia tampaknya berpendapat bahwa logos
             lebih  tinggi,  yakni  sebagai  ide  tertinggi  tentang  Tuhan  yang
             bisa  dicapai  oleh  manusia.  Namun  demikian,  ketika  kita
             berkontemplasi  tentang  logos,  kita  tidak  membentuk
             pengetahuan positif tentang Tuhan: kita tiba di luar jangkauan
             akal  diskursif  menuju  pemahaman  intuitif  yang  “lebih  tinggi
             daripada suatu cara berpikir, lebih berharga daripada sesuatu
                                             75
             yang  sekadar  merupakan  pikiran”.   Itu  adalah  aktivitas
             yang  mirip  dengan  kontemplasi  Plato  (theoria).  Philo
             bersikeras  bahwa  kita  tak  akan  pernah  mencapai  Tuhan
             sebagaimana  dia  dalam  dirinya:  kebenaran  tertinggi  yang
             dapat kita jangkau adalah pengakuan tak terelakkan bahwa
             Tuhan benar-benar mentransendensi pikiran manusia.

             Ini tidak segamblang kedengarannya. Philo menggambarkan
             sebuah  pengembaraan  penuh  kasih  dan  menyenangkan
             menuju  yang  tak  diketahui,  yang  memberinya  pembebasan
             dan energi kreatif. Seperti Plato, dia memandang jiwa seperti
             dalam  pengasingan,  terperangkap  dalam  dunia  materi  yang
             bersifat  fisik.  Ia  harus  kembali  kepada  Tuhan,  rumahnya
             yang  sejati,  meninggalkan  kesenangan,  dunia  indriawi,  dan
             bahkan bahasa, karena semua itu mengikat kita dengan dunia
             yang  tidak  sempurna.  Akhirnya,  jiwa  akan  mencapai
             kebahagiaan  yang  membawanya  mengatasi  kesuraman
             keterbatasan  ego  menuju  realitas  yang  lebih  luas  dan  utuh.



                            ~133~ (pustaka-indo)
   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144   145