Page 143 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 143
http://pustaka-indo.blogspot.com
Keruntuhan Kuil, yang telah menjadi sumber inspirasi
Yudaisme baru, merupakan duka yang dalam. Akan tetapi,
jika melihat ke belakang, tampaknya orang Yahudi Palestina,
yang sering lebih konservatif daripada Yahudi diaspora yang
sudah terhelenisasi, telah mempersiapkan diri mereka untuk
menghadapi bencana ini. Berbagai sekte telah tumbuh di
Tanah Suci ini yang dengan berbagai cara berbeda
memisahkan diri mereka dari Kuil Yerusalem. Sekte Essenia
dan sekte Qumran percaya bahwa Kuil telah menjadi kotor
dan korup; mereka menarik diri dan hidup dalam komunitas
terpisah, seperti komunitas bergaya monastik di sisi laut Mati.
Mereka percaya bahwa mereka sedang membangun sebuah
kuil baru, yang bukan dibuat dengan tangan. Kuil mereka
adalah Kuil Ruh; bukannya dengan memberikan hewan
kurban seperti yang lama, mereka menyucikan diri dan
mencari pengampunan dosa dengan upacara baptis dan
perjamuan umum. Tuhan hadir di tengah persaudaraan yang
saling mengasihi, bukan di dalam kuil batu.
Yang paling progresif di antara semua umat Yahudi Palestina
adalah kaum Farisi yang merasa solusi aliran Essenia terlalu
elitis. Dalam Perjanjian Baru, kaum Farisi digambarkan
sebagai orang-orang munafik. Ini disebabkan oleh distorsi
polemik pada abad pertama. Kaum Farisi sebenarnya
merupakan orang-orang Yahudi yang sangat spiritual.
Mereka percaya bahwa seluruh Israel telah diimbau untuk
menjadi bangsa suci para rahib. Tuhan dapat hadir di rumah
yang paling sederhana sebagaimana kehadirannya di Kuil.
Akibatnya, mereka hidup bagaikan kasta rahib resmi,
menjalankan hukum-hukum kesucian khusus yang mereka
terapkan hanya pada kuil yang ada di rumah mereka.
Mereka bersikeras untuk makan dalam keadaan suci secara
ritual karena mereka yakin bahwa meja setiap orang Yahudi
bagaikan mezbah Tuhan di Kuil. Mereka menanamkan rasa
~136~ (pustaka-indo)