Page 179 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 179
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tuhan dan bahwa seluruh dewa lain hanyalah khayalan
belaka. Kristen tampak merupakan gerakan yang tidak
rasional dan eksentrik bagi penulis biografi Romawi, Gaius
Suetonius (70-160), sebuah superstitio nova et prava, yang
“buruk” justru karena “baru”. 31
Kaum pagan yang berpendidikan menoleh ke filsafat, bukan
agama, untuk mendapatkan pencerahan. Orang-orang yang
mereka anggap suci dan tercerahkan adalah para filosof
kuno semacam Plato, Pythagoras, dan Epictetus. Mereka
bahkan menganggap para filosof itu sebagai “anak-anak
Dewa”: Plato, misalnya, diyakini sebagai anak Apollo. Para
filosof bersikap hormat terhadap agama, tetapi
memandangnya berbeda secara esensial dari apa yang
mereka kerjakan. Mereka bukanlah para akademisi yang
kering di menara gading, melainkan orang-orang yang
mempunyai misi, bertekad untuk menyelamatkan jiwa orang-
orang sezamannya dengan menarik mereka menjadi pengikut
mazhab-mazhab mereka. Baik Sokrates maupun Plato
bersikap sangat “religius” tentang filsafat mereka,
merasakan bahwa kajian ilmiah dan metafisis itu telah
mengilhami mereka dengan suatu penglihatan tentang
keagungan alam. Oleh karena itu, pada abad pertama M,
orang-orang yang cerdas dan berwawasan beralih kepada
mereka untuk mendapatkan penjelasan tentang makna hidup,
ideologi yang penuh ilham, dan motivasi etis. Kristen tampak
seperti sebuah kredo yang barbarik. Tuhan Kristen tampak
sebagai ilah yang pemarah dan primitif, yang tak hentinya
ikut campur secara tak rasional dalam urusan-urusan
manusia: dia tak memiliki kesamaan apa pun dengan Tuhan
para filosof yang jauh dan tak berubah, seperti Tuhan dalam
konsepsi Aristoteles. Akan tetapi, mengatakan bahwa orang-
orang sekaliber Plato atau Aleksander Agung adalah anak-
anak dewa, tidak sama dengan mengatakan hal yang setara
~172~ (pustaka-indo)