Page 213 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 213
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tuhan Bapa dan yang mengatakan bahwa ia berhakikat
mirip dengan Tuhan Bapa adalah “bersaudara, yang
memaksudkan apa yang kita maksudkan dan hanya berselisih
12
dalam soal terminologi”. Yang jadi prioritas seharusnya
adalah menentang Arius, yang menyatakan bahwa sang
Putra secara keseluruhan berbeda dari Tuhan dan secara
mendasar memiliki hakikat yang berbeda. Bagi orang luar,
tak pelak lagi bahwa argumen-argumen teologis semacam ini
tampak hanya membuang-buang waktu saja: toh tak ada
pihak yang mungkin memberi bukti secara definitif, dengan
cara apa pun, dan perselisihan itu sendiri justru terbukti telah
memecah belah. Akan tetapi, bagi orang yang terlibat di
dalamnya, ini bukanlah perdebatan yang kering, tetapi
menyangkut esensi pengalaman Kristen. Arius, Athanasius,
dan Marcellus yakin bahwa sesuatu yang baru telah
menyusup ke dunia bersama Yesus, dan mereka berupaya
untuk mengartikulasikan pengalaman ini ke dalam simbol-
simbol konseptual untuk menjelaskannya kepada diri mereka
sendiri dan kepada orang lain. Kata-kata itu sendiri hanya
mungkin bersifat simbolik, sebab realitas yang ingin mereka
tunjukkan memang tak terucapkan. Namun sayangnya,
sebuah intoleransi dogmatik telah merayap ke dalam agama
Kristen, yang akhirnya menetapkan pengadopsian simbol-
simbol yang “benar” atau ortodoks sebagai sesuatu yang
penting dan wajib. Obsesi doktrinal ini, yang khas bagi
Kristen, dapat dengan mudah menggiring kepada
pencampuradukan simbol manusia dengan realitas ilahi.
Kristen telah senantiasa merupakan sebuah keimanan yang
bersifat paradoks: pengalaman keagamaan generasi awal
Kristen yang kuat telah mengalahkan keberatan ideologis
mereka terhadap skandal seorang Mesias yang disalib. Kini
di Nicaea, gereja telah memilih paradoks Inkarnasi, meskipun
dengan ketidaksesuaiannya yang terang-terangan dengan
monoteisme.
~206~ (pustaka-indo)