Page 218 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 218
http://pustaka-indo.blogspot.com
18
kita oleh kegelapan ketidaktahuan”. Kita tak dapat
“melihat” Tuhan secara intelektual, namun seandainya kita
membiarkan diri kita terbungkus dalam kabut yang pernah
turun di gunung Sinai, kita akan merasakan kehadirannya.
Basil menggunakan perbedaan yang telah dibuat oleh Philo
antara esensi (ousia) dan aktivitas (energeiai) Tuhan di
dunia: “Kita mengenal Tuhan kita hanya melalui
perbuatannya (energeiai), tetapi kita tak berdaya untuk
19
mendekati esensinya.” Inilah kata kunci dari semua teologi
masa depan di gereja Timur.
Kapadokian juga ingin sekali untuk mengembangkan ajaran
tentang Roh Kudus, yang mereka rasakan tidak ditelaah
secara sungguh-sungguh di Nicaea: “Dan kami beriman
kepada Roh Kudus” kelihatannya hanya ditambahkan begitu
saja kepada kredo Athanasius. Orang-orang kebingungan
tentang Roh Kudus. Apakah ia bersinonim dengan Tuhan
atau merupakan sesuatu yang lebih? “Ada yang memahami
[Roh itu] sebagai sebuah aktivitas,” ujar Gregory dari
Nazianzus, “ada pula sebagai makhluk, sebagai Tuhan, dan
20
sebagian lagi tak yakin harus menyebutnya apa.” Paulus
berbicara tentang Roh Kudus sebagai upaya pembaruan,
penciptaan, dan penyucian, tetapi aktivitas-aktivitas ini hanya
mungkin dikerjakan oleh Tuhan. Oleh karena itu, akibatnya,
Roh Kudus, yang kehadirannya di dalam diri kita dipandang
sebagai penyelamat kita, pastilah ilahiah dan bukan sekadar
makhluk ciptaan. Kapadokian menggunakan rumusan yang
pernah dipakai Athanasius dalam perselisihannya dengan
Arius: Tuhan memiliki satu esensi (ousia) yang tak dapat kita
pahami— tetapi tiga bentuk ekspresi (hypostases) yang
membuat dia diketahui.
Alih-alih mengawali penjelasan mereka tentang Tuhan
dengan ousia-nya yang tak dapat dikenali, Kapadokian
~211~ (pustaka-indo)