Page 223 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 223
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tuhan pada abad kesembilan belas dan kedua puluh, seperti
yang akan kita saksikan nanti. Salah satu alasan mengapa
Kapadokian mengembangkan paradigma imajinatif ini adalah
untuk mencegah agar Tuhan tidak dikonsepsikan lewat cara
yang sama rasionalnya dengan filsafat Yunani, sebagaimana
dipahami oleh pembid‘ah semacam Arius. Teologi Arius itu
agak terlalu gamblang dan logis. Trinitas mengingatkan
orang-orang Kristen bahwa realitas yang kita sebut “Tuhan”
tak dapat dipahami oleh akal manusia. Doktrin Inkarnasi,
seperti diekspresikan di Nicaea, memang penting, namun
dapat mengarah kepada keberhalaan yang simplistik. Orang
mungkin mulai berpikir tentang Tuhan lewat cara yang terlalu
manusiawi: bahkan mungkin pula membayangkan “dia”
berpikir, berperilaku, dan berencana seperti kita. Dari sana,
hanya tersisa sebuah langkah kecil menuju ke arah
penisbahan semua bentuk pendapat yang penuh prasangka
kepada Tuhan dan kemudian memutlakkannya. Trinitas
merupakan upaya untuk mengoreksi kecenderungan ini. Alih-
alih memandangnya sebagai pernyataan faktual tentang
Tuhan, Trinitas mungkin harus dilihat sebagai sebuah puisi
atau tarian teologis antara apa yang dipercayai dan diterima
oleh manusia fana tentang “Tuhan” dengan kesadaran
bahwa setiap pernyataan atau kerygma pasti bersifat
sementara.
Perbedaan penggunaan kata “teori” di Yunani dan Barat
dapat menjelaskan sesuatu. Bagi Kristen Timur, theoria
selalu mengandung arti kontemplasi. Di Barat, “theory”
diartikan sebagai hipotesis rasional yang harus dibuktikan
secara logis. Mengembangkan sebuah “teori” tentang Tuhan
menyiratkan arti bahwa “dia” bisa dimuat di dalam sistem
pemikiran manusia. Hanya ada tiga teolog latin di Nicaea.
Kebanyakan orang Kristen Barat belum mencapai tingkatan
diskusi semacam ini dan, karena mereka tidak memahami
~216~ (pustaka-indo)