Page 229 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 229
http://pustaka-indo.blogspot.com
memulai eksplorasi ini dengan pengalaman yang sebagian
besar kita pernah dapatkan. Ketika mendengar frasa-frasa,
seperti “Tuhan adalah cahaya” atau “Tuhan adalah
kebenaran”, kita secara instingtif merasakan gejolak
ketertarikan spiritual dan merasa bahwa “Tuhan” dapat
memberi makna dan nilai bagi kehidupan kita. Namun,
setelah pencerahan sekejap ini, kita kembali jatuh ke dalam
bingkai pikiran kita yang biasa, saat kita terobsesi tentang
35
“hal-hal yang biasa dan membumi”. Cobalah semampu
kita, kita tak bisa meraih kembali momen kerinduan yang tak
terucapkan itu. Proses pemikiran normal tak dapat
membantu; sebaliknya, kita harus mendengar “apa yang
dimaksud oleh hati” dengan frasa-frasa semacam “Dia
36
adalah kebenaran”. Akan tetapi, mungkinkah mencintai
realitas yang tidak kita kenal? Agustinus menjawab dengan
membuktikan bahwa karena di dalam pikiran kita sendiri
terdapat trinitas yang mencerminkan Tuhan, seperti citra
Platonis mana pun, kita rindu pada Arketipe kita—pola dasar
yang dengannya kita dibentuk.
Jika kita mengawali dengan mempertimbangkan pikiran yang
mencintai dirinya sendiri, kita tidak menemukan trinitas
melainkan dualitas, yakni cinta dan pikiran. Namun, hanya
jika pikiran itu sadar tentang dirinya sendiri, melalui apa yang
kita sebut kesadaran diri, ia baru bisa mencintai dirinya
sendiri. Mendahului Descartes, Agustinus menyatakan
bahwa pengetahuan tentang diri sendiri merupakan pijakan
dasar dari semua kepastian yang lain. Bahkan, pengalaman
tentang keraguan pun membuat kita sadar akan diri sendiri. 37
Di dalam jiwa ada tiga macam isi, yaitu: ingatan, pengertian,
dan kehendak yang bersesuaian dengan pengetahuan,
pengenalan diri, dan cinta. Seperti halnya tiga oknum ilahi,
aktivitas-aktivitas mental ini secara esensial adalah satu
~222~ (pustaka-indo)