Page 24 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 24
http://pustaka-indo.blogspot.com
Terlepas dari sifat non-duniawinya, agama sesungguhnya
bersifat pragmatik. Kita akan menyaksikan bahwa sebuah
ide tentang Tuhan tidak harus bersifat logis atau ilmiah, yang
penting bisa diterima. Ketika ide itu sudah tidak efektif lagi,
ia akan diganti—terkadang dengan ide lain yang berbeda
secara radikal. Hal ini tidak dipusingkan oleh kebanyakan
kaum monoteis sebelum era kita sekarang karena mereka
tahu bahwa gagasan mereka tentang Tuhan tidaklah sakral,
tetapi pasti akan mengalami perubahan. Gagasan-gagasan itu
sepenuhnya buatan manusia—tak bisa tidak—dan jauh
berbeda dari Realitas tak tergambarkan yang
disimbolkannya. Ada pula yang mengembangkan cara-cara
yang sangat berani untuk menekankan perbedaan esensial
ini. Salah seorang mistikus Abad Pertengahan melangkah
lebih jauh hingga mengatakan bahwa Realitas tertinggi itu—
yang secara keliru dinamai “Tuhan”—bahkan tidak pernah
disebutkan di dalam Alkitab. Sepanjang sejarah, manusia
telah mengalami dimensi ruhaniah yang tampaknya
melampaui dunia material. Adalah salah satu karakteristik
pikiran manusia yang mengagumkan untuk mampu
menciptakan konsep-konsep yang menjangkau jauh seperti
itu. Apa pun tafsiran kita atas hal itu, pengalaman manusia
tentang yang transenden ini telah menjadi sebuah fakta
kehidupan. Tidak semua orang memandangnya ilahiah; orang
Buddha, sebagaimana nanti akan kita lihat, akan menolak
bahwa visi dan wawasan yang diperoleh lewat pengalaman
itu berasal dari suatu sumber supranatural. Mereka
menganggapnya sebagai hal yang alamiah bagi kemanusiaan.
Akan tetapi, semua agama besar akan sepakat bahwa adalah
mustahil untuk menggambarkan transendensi ini dalam
bahasa konseptual biasa. Kaum monoteis menyebut
transendensi ini “Tuhan”, namun mereka membatasinya
dengan syarat-syarat penting. Yahudi, misalnya, dilarang
mengucapkan nama Tuhan yang sakral, sedangkan umat
~17~ (pustaka-indo)