Page 27 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 27
http://pustaka-indo.blogspot.com
misalnya. Sementara yang lain secara khidmat
memperbincangkan seksualitas Tuhan dan memasukkan
unsur feminin kepada Tuhan.
Ini membawa saya ke titik yang sulit. Karena Tuhan ini telah
telanjur secara khusus dikenal sebagai berjenis “laki-laki”,
dan dalam bahasa Inggris kaum monoteis lazim merujuk
kepada-Nya dengan kata ganti “he”. Pada masa sekarang,
kaum feminis dengan sangat sadar menaruh keberatan
terhadap hal ini. Penggunaan kata ganti maskulin untuk
Tuhan ini menimbulkan persoalan dalam sebagian bahasa
bergender. Akan tetapi, dalam bahasa Yahudi, Arab, dan
Prancis, gender gramatikal memberikan nada dan dialektika
seksual terhadap diskursus teologis, yang justru dapat
memberikan keseimbangan yang sering tidak terdapat di
dalam bahasa Inggris. Misalnya, kata Arab Allah (nama
tertinggi bagi Tuhan) adalah maskulin secara gramatikal,
tetapi kata untuk esensi Tuhan yang ilahiah dan tak
terjangkau—Al-Dzat—adalah feminin.
Semua perbincangan tentang Tuhan adalah perbincangan
yang sulit. Namun, kaum monoteis bersikap amat positif
tentang bahasa sembari tetap menyangkal kapasitasnya
untuk mengekspresikan realitas transenden. Tuhan orang
Yahudi, Kristen, dan Islam adalah Tuhan yang—dalam
beberapa pengertian—berkata-kata (berfirman). Firmannya
sangat krusial di dalam ketiga agama besar itu. Firman Tuhan
telah membentuk sejarah kebudayaan kita. Kita harus
memutuskan apakah kata “Tuhan” masih tetap memiliki
makna bagi kita pada masa sekarang.[]
~20~ (pustaka-indo)