Page 259 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 259

http://pustaka-indo.blogspot.com
             sekaligus  di  gunung  Sinai,  Al-Quran  diwahyukan  kepada
             Muhammad  secara  sepenggal-sepenggal,  sebaris  demi
             sebaris dan seayat demi seayat dalam kurun waktu dua puluh
             tiga  tahun.  Pewahyuan  itu  terus  terjadi  dalam  pengalaman
             yang memberatkan. “Tak pernah aku menerima wahyu tanpa
             perasaan  bahwa  jiwaku  seolah-olah  akan  tercerabut  dari
                                                             5
             diriku,”  ujar  Muhammad  beberapa  tahun  kemudian.   Dia
             harus  menyimak  firman-firman  suci  itu  dengan  penuh
             perhatian, berusaha mendapatkan visi dan arti penting yang
             tidak  selalu  sampai  kepadanya  dalam  bentuk  verbal  yang
             jelas.  Kadang-kadang,  katanya,  kandungan  pesan  ilahi  itu
             sangat jelas: dia seolah-olah melihat Jibril dan mendengar apa
             yang diucapkannya. Akan tetapi, pada waktu lain, wahyu itu
             sangat sulit diartikulasikan: “Kadang kala ia datang kepadaku
             bagaikan  gema  sebuah  genta,  dan  itulah  yang  paling  sulit;
             gema itu menyurut ketika aku telah sadar akan pesan yang
                         6
             disampaikan.”   Para  penulis  biografi  pertama  pada  periode
             klasik sering memperlihatkan Muhammad menyimak secara
             tekun  apa  yang  mungkin  mesti  kita  sebut  ungkapan  alam
             bawah  sadar  dengan  autoritas  dan  integritas  yang  secara
             misterius  bukan  merupakan  bagian  dari  dirinya—persis
             seperti  seorang  penyair  menjelaskan  proses  “penyimakan”
             sebuah puisi yang secara perlahan muncul dari ruang pikiran
             yang    tersembunyi.   Di   dalam   Al-Quran,   Tuhan
             memerintahkan  Muhammad  untuk  mendengarkan  makna
             yang tidak koheren itu dengan saksama dan dengan apa yang
             disebut  oleh  Wordsworth  sebagai  “kepasifan  yang
                       7
             bijaksana”.  Dia tidak boleh tergesa-gesa memaksakan kata
             atau  makna  konseptual  tertentu  pada  wahyu  itu  sebelum
             maknanya yang sejati terungkap pada saat yang tepat:

             Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-
             Quran  karena  hendak  cepat-cepat  (menguasai)nya.




                            ~252~ (pustaka-indo)
   254   255   256   257   258   259   260   261   262   263   264