Page 274 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 274
http://pustaka-indo.blogspot.com
sering disebut banat Allah, yang arti harfiahnya Anak
Perempuan Allah, tetapi tidak merupakan sesembahan yang
telah berkembang sepenuhnya. Orang Arab menggunakan
istilah kekeluargaan seperti itu untuk menyatakan suatu
hubungan yang abstrak: dengan demikian, banat al-dahr
(harfiahnya “putri-putri nasib”) sekadar bermakna
ketidakberuntungan atau pasang surut kehidupan. Istilah
banat Allah mungkin sekadar merujuk kepada “wujud-wujud
suci”. Sesembahan ini tidak diwakili oleh patung yang
realistik di dalam kuil-kuil, tetapi oleh batu-batu besar yang
berdiri tegak, seperti yang terdapat di kalangan orang
Kanaan kuno. Batu itu tidak disembah oleh orang-orang
Arab secara langsung, tetapi hanya menjadi sebuah fokus
keilahian. Seperti Makkah dengan Ka‘bahnya, kuil-kuil di
Thaif, Nakhlah, dan Qudaid telah menjadi lambang spiritual
yang penting di dalam hati orang-orang Arab. Nenek moyang
mereka telah beribadah di sana sejak zaman antah-berantah,
dan ini mereka memberi rasa ketersambungan yang
melegakan.
Kisah Ayat-Ayat Setan tidak disebutkan di dalam Al-Quran
maupun sumber-sumber lisan dan tertulis yang terdahulu.
Kisah ini juga tidak tercantum di dalam Sirah Ibn Ishaq,
biografi Nabi yang paling autoritatif, tetapi hanya ditemukan
di dalam karya sejarahwan abad kesepuluh, Abu Ja‘far Al-
Thabari (w. 923). Dia menceritakan kepada kita bahwa
Muhammad mengkhawatirkan keretakan hubungan yang
terjadi antara dirinya dengan sebagian besar anggota suku
sejak dia melarang pemujaan terhadap dewi-dewi mereka.
lalu, Muhammad mengucapkan beberapa bait janggal yang
mengizinkan banat Allah diagungkan sebagai perantara,
seperti halnya para malaikat. Dalam bait-bait yang disebut
sebagai “Ayat-Ayat Setan” ini—karena konon diinspirasikan
oleh “setan”— ketiga dewi itu tidak dipandang setara dengan
~267~ (pustaka-indo)