Page 277 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 277
http://pustaka-indo.blogspot.com
ibadat yang keliru—apakah itu dewa-dewa maupun nilai-nilai
—seperti dianjurkan oleh orang-orang Quraisy.
Persepsi tentang keunikan Tuhan merupakan basis moralitas
A-lQuran. Menyembah benda-benda material atau
meletakkan kepercayaan pada wujud yang lebih rendah
adalah syirk (keberhalaan). Al-Quran menumpahkan celaan
terhadap dewa-dewa pagan dalam cara yang sangat mirip
dengan kitab suci Yahudi: dewa-dewa itu sama sekali tak
bisa berbuat apa-apa. Dewa-dewa itu tak mampu
memberikan makanan atau rezeki; tidak ada gunanya
meletakkan mereka sebagai pusat dalam kehidupan
seseorang karena mereka tidaklah berdaya. Sebaliknya,
seorang Muslim juga harus yakin bahwa Allah adalah
Realitas Tertinggi dan Unik:
Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada
pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun
yang setara dengan Dia.” 24
Penganut Kristen seperti Athanasius juga berkeyakinan
bahwa hanya Sang Pencipta, sumber segala wujud, yang
memiliki kekuatan penebusan. Mereka telah mengungkapkan
pandangan ini dalam doktrin Trinitas dan Inkarnasi. Al-Quran
kembali kepada gagasan Semitik tentang ketunggalan ilahi
dan menolak membayangkan bahwa Tuhan dapat
“memperanakkan” seorang putra. Tak ada Tuhan kecuali
Allah, Pencipta langit dan bumi. Hanya Allah yang dapat
menyelamatkan manusia dan menganugerahkan rezeki fisik
maupun spiritual yang dibutuhkan manusia. Hanya dengan
mengakuinya sebagai Al-Shamad, “Penyebab yang Tidak
Disebabkan atas segala sesuatu”, kaum Muslim dapat
mencapai sebuah dimensi realitas yang melampaui waktu
~270~ (pustaka-indo)