Page 302 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 302
http://pustaka-indo.blogspot.com
menentang kemapanan.
Persoalan politik mengilhami perdebatan teologis tentang
pengaturan Tuhan atas urusan-urusan manusia. Para
pendukung Dinasti Umayah secara tidak jujur mengklaim
bahwa perilaku tidak Islami mereka bukan merupakan
kesalahan mereka, melainkan karena Tuhan telah
menakdirkan mereka untuk menjadi jenis manusia yang
demikian. Al-Quran memiliki konsepsi yang sangat kukuh
tentang kemahakuasaan Tuhan, dan banyak teks yang bisa
dipakai untuk mendukung pandangan predestinasi ini.
Namun, Al-Quran secara seimbang menekankan tentang
tanggung jawab manusia: Sesungguhnya, Tuhan tidak
akan mengubah keadaan mereka, kecuali mereka
mengubahnya sendiri. Oleh karena itu, para pengkritik
kelompok penguasa menekankan kehendak bebas dan
tanggung jawab moral. Penganut Mu‘tazilah mengambil jalan
tengah dan melepaskan diri (i‘tazala) dari posisi ekstrem.
Mereka membela kehendak bebas dengan tujuan memelihara
watak etis manusia. Seorang Muslim yang meyakini bahwa
Tuhan berada di atas pandangan manusia tentang benar dan
salah berarti tidak mempercayai keadilannya. Tuhan yang
melanggar semua prinsip yang masuk akal hanya karena dia
adalah Tuhan justru lebih parah daripada seorang khalifah
tiran. Sebagaimana kaum Syiah, Mu‘tazilah juga menyatakan
bahwa keadilan adalah esensi Tuhan: dia tidak dapat
menzalimi seseorang; dia tidak dapat melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan akal.
Di sini, mereka memasuki perbedaan pendapat dengan kaum
tradisionis yang berpandangan bahwa dengan menjadikan
manusia sebagai penentu dan pencipta perbuatannya sendiri,
maka orang-orang Mu‘tazilah telah merendahkan kekuasaan
Tuhan. Mereka menuduh kaum Mu‘tazilah telah menjadikan
~295~ (pustaka-indo)