Page 304 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 304
http://pustaka-indo.blogspot.com
Untuk menghindarkan bahaya ini, kaum tradisionis berpegang
pada pembedaan yang telah lama dikenal, yang juga pernah
dipakai oleh orang Yahudi maupun Kristen, antara esensi dan
aktivitas Tuhan. Mereka mengklaim bahwa sebagian dari
sifat-sifat yang membuat Tuhan yang transenden
berhubungan dengan dunia—seperti berkuasa, mengetahui,
berkehendak, mendengar, melihat, berkata-kata, yang
semuanya diatributkan kepada Allah di dalam Al-Quran—
sudah ada bersamanya sejak semula dalam cara yang sama,
seperti Al-Quran yang bukan makhluk itu. Atribut-atribut itu
berbeda dari esensi Tuhan yang tidak bisa diketahui, yang
akan selalu luput dari pemahaman kita. Persis seperti yang
dibayangkan oleh orang Yahudi bahwa hikmat Tuhan atau
Taurat telah ada bersama Tuhan sejak sebelum awal waktu,
kaum Muslim kini mengembangkan gagasan yang mirip
untuk mengajarkan personalitas Tuhan dan untuk
mengingatkan kaum Muslim bahwa Tuhan tidak mungkin
seutuhnya tercakup oleh akal manusia.
Sekiranya khalifah Al-Ma’mun (813-832) tidak berpihak
kepada kaum Mu‘tazilah dan berusaha menjadikan gagasan
mereka sebagai doktrin resmi umat Muslim, argumen yang
musykil ini mungkin hanya akan berpengaruh terhadap sedikit
orang. Akan tetapi, ketika khalifah itu mulai menyiksa
kelompok tradisionis untuk memaksakan teologi Mu‘tazilah,
orang awam dibuat ketakutan oleh sikap tidak Islami ini.
Ahmad ibn Hanbal (780-855), seorang tradisionis terkemuka
yang berhasil menyelamatkan diri dari inkuisisi Al-Ma’mun,
menjadi tokoh yang populer. Kesalehan dan karismanya—dia
pernah berdoa untuk para penyiksanya—menimbulkan
tantangan terhadap kekhalifahan, dan keyakinannya bahwa
Al-Quran bukan makhluk telah menjadi slogan bagi
pemberontakan massal menentang rasionalisme Mu‘tazilah.
~297~ (pustaka-indo)