Page 308 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 308
http://pustaka-indo.blogspot.com
analogi (qiyas) untuk memperoleh konsep ketuhanan yang
betul-betul religius.
Al-Asy‘ari senantiasa mengupayakan posisi kompromistik,
maka dia pun berpendapat bahwa Al-Quran itu qadim dan
merupakan Firman Allah yang bukan makhluk, melainkan
tinta, kertas, dan kata-kata berbahasa Arab dari naskah itu
adalah makhluk. Dia mencela doktrin kehendak bebas dari
Mu‘tazilah, karena hanya Tuhanlah “pencipta” perbuatan-
perbuatan manusia, tetapi dia juga menentang pandangan
aliran tradisionis yang menyatakan bahwa manusia sama
sekali tidak bisa berkontribusi terhadap keselamatan diri
mereka. Solusi Al-Asy‘ari agak berbelit-belit: Tuhan
menciptakan perbuatan manusia, tetapi mengizinkan manusia
untuk mendapat pujian atau kecaman atas perbuatan itu.
Namun, tidak seperti Ibn Hanbal, Al-Asy‘ari telah bersiap
untuk mengajukan pertanyaan dan menggali persoalan-
persoalan metafisika, walaupun pada akhirnya dia
menyimpulkan bahwa adalah keliru untuk berusaha
memasukkan realitas misterius dan tak terlukiskan yang kita
sebut Tuhan itu ke dalam suatu sistem koheren dan
rasionalistik.
Al-Asy‘ari telah membangun tradisi kalam (secara harfiah
berarti “kata” atau “pembahasan”), yang biasanya
diterjemahkan sebagai “teologi”. Murid-muridnya pada abad
kesepuluh dan kesebelas memperbaiki metodologi kalam dan
mengembangkan gagasan-gagasannya lebih lanjut. Para
pengikut Al-Asy‘ari generasi awal ingin merancang bingkai
metafisika bagi suatu diskusi yang sahih tentang kekuasaan
Tuhan. Teolog terkemuka pertama dari aliran Asy‘ariah
adalah Abu Bakr Al-Baqillani (w. 1013). Dalam risalahnya
Al-Tauhid, dia sependapat dengan Mu‘tazilah bahwa
manusia dapat membuktikan eksistensi Tuhan secara logis
~301~ (pustaka-indo)