Page 307 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 307
http://pustaka-indo.blogspot.com
itu, dia bersikeras bahwa ketika Al-Quran menyatakan
Tuhan “duduk di atas singgasananya”, kita harus menerima
itu sebagai sebuah fakta meskipun berada di luar
pemahaman kita untuk mengonsepsikan bagaimana Tuhan itu
“duduk”.
Al-Asy‘ari mencoba menemukan jalan tengah antara
obskurantisme yang ceroboh dan rasionalisme yang ekstrem.
Beberapa kaum literalis mengatakan bahwa jika orang-orang
yang diridai akan melihat Tuhan di surga, seperti dinyatakan
oleh Al-Quran, maka tentulah Tuhan memiliki penampakan
fisikal. Hisyam ibn Hakim melangkah lebih jauh dengan
menyatakan bahwa:
Allah mempunyai tubuh, dimensi-dimensi yang
setara, tertentu, luas, tinggi dan panjang,
memancarkan cahaya, berukuran luas dalam tiga
dimensinya, di suatu tempat di luar tempat,
seperti sebatang emas murni, bersinar dari
segala sisinya seperti mutiara bulat,
39
memiliki warna, rasa, aroma, dan sentuhan.
Sebagian kalangan Syiah menerima pandangan semacam itu
karena kepercayaan mereka bahwa para imam merupakan
inkarnasi ilahi. Kaum Mu‘tazilah berpendirian bahwa ketika
Al-Quran berbicara tentang tangan Tuhan, misalnya, maka
ini harus ditafsirkan secara kiasan sebagai merujuk kepada
kebaikan dan kemurahannya. Al-Asy‘ari menentang kaum
literalis dengan membuktikan bahwa Al-Quran mengatakan
kita hanya dapat berbicara tentang Tuhan dalam bahasa
simbolik. Akan tetapi, dia juga menentang penolakan mentah-
mentah kaum tradisionis terhadap akal. Dia berpendapat
bahwa Muhammad tak pernah menghadapi persoalan
semacam ini, kalau tidak tentu dia akan memberikan petunjuk
kepada umat Muslim; oleh karena itu, semua Muslim
berkewajiban menggunakan perangkat penafsiran seperti
~300~ (pustaka-indo)