Page 306 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 306

http://pustaka-indo.blogspot.com
             941).  Sebelumnya,  dia  adalah  penganut  Mu‘tazilah,  tetapi
             beralih  kepada  tradisionisme  berdasarkan  mimpi  bertemu
             Nabi yang memerintahkannya untuk mempelajari hadis. Al-
             Asy‘ari  lalu  melangkah  ke  titik  ekstrem  lainnya,  menjadi
             pengikut tradisionis yang antusias, menentang Mu‘tazilah dan
             menganggapnya sebagai bahaya laten bagi Islam. Kemudian,
             dia  bermimpi  lagi  melihat  Nabi  Muhammad  bersikap  agak
             marah  dan  berkata,  “Aku  tidak  memerintahkanmu
             meninggalkan    argumen    rasional,   tetapi   supaya
             menggunakannya untuk mendukung hadis shahih!”    38

             Setelah  itu,  Al-Asy‘ari  memakai  teknik-teknik  rasionalis
             Mu‘tazilah  untuk  mendukung  Ibn  Hanbal.  Pada  saat  orang
             Mu‘tazilah  mengklaim  bahwa  wahyu  Tuhan  tak  mungkin
             tidak bisa dinalar, Al-Asy‘ari menggunakan nalar dan logika
             untuk  membuktikan  bahwa  Tuhan  berada  di  luar  jangkauan
             penalaran kita. Orang Mu‘tazilah bisa terjerumus mereduksi
             Tuhan  ke  dalam  konsep  yang  koheren  tetapi  kering;  Al-
             Asy’ari ingin kembali kepada konsepsi ketuhanan yang utuh
             di  dalam  Al-Quran  meskipun  tidak  konsisten.  Bahkan,
             sebagaimana  Denys  Aeropagite,  dia  percaya  bahwa
             paradoks  justru  akan  meningkatkan  apresiasi  kita  terhadap
             Tuhan. Dia menolak mereduksi Tuhan ke dalam konsep yang
             dapat  didiskusikan  dan  dianalisis  sebagaimana  gagasan
             manusia  yang  lain.  Sifat-sifat  Tuhan,  seperti  mengetahui,
             berkuasa,  hidup,  dan  sebagainya,  adalah  real;  sifat-sifat  itu
             telah  ada  pada  Tuhan  sejak  semula.  Namun,  sifat-sifat  itu
             berbeda  dari  hakikat  Tuhan  karena  Tuhan  pada  esensinya
             adalah  satu,  sederhana,  dan  unik.  Dia  tidak  bisa  dipandang
             sebagai  suatu  wujud  yang  kompleks  karena  dia  merupakan
             simplisitas itu sendiri; kita tidak bisa menganalisisnya dengan
             cara mendefinisikan berbagai sifatnya atau menguraikannya
             ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Al-Asy‘ari menolak
             setiap  usaha  untuk  memecahkan  paradoks  itu:  oleh  karena



                            ~299~ (pustaka-indo)
   301   302   303   304   305   306   307   308   309   310   311