Page 314 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 314
http://pustaka-indo.blogspot.com
menghapuskan agama, tetapi ingin menyucikannya dari apa
yang mereka pandang sebagai unsur-unsur primitif dan
parokial. Mereka tidak punya keraguan tentang keberadaan
Tuhan—tetapi merasa bahwa hal ini perlu dibuktikan secara
logis untuk memperlihatkan bahwa Allah selaras dengan nilai
rasionalistik yang mereka pegang.
Akan tetapi, di sini terdapat beberapa persoalan. Kita telah
melihat bahwa Tuhan menurut para filosof Yunani sangat
berbeda dari Tuhan menurut wahyu: Tuhan Aristoteles atau
Plotinus tak berwaktu dan tak bergeming; dia tidak menaruh
perhatian terhadap kejadian-kejadian duniawi, tidak
mewahyukan dirinya di dalam sejarah, tidak pernah
menciptakan alam, dan tidak akan mengadili di Hari Kiamat.
Bahkan sejarah, teofani utama menurut keyakinan
monoteistik, telah disisihkan oleh Aristoteles sebagai bidang
kajian yang lebih rendah dibandingkan dengan filsafat. Tak
ada awal, tengah, atau akhir, karena kosmos memancar
secara abadi dari Tuhan. Para faylasuf ingin melampaui
sejarah, yang sekadar ilusi, untuk menyingkap dunia ilahiah
yang ideal dan tak berubah. Meski ada penekanan pada
rasionalitas, falsafah menuntut keimanan tersendiri.
Dibutuhkan keberanian besar untuk meyakini bahwa kosmos,
yang lebih menyerupai tempat kekacauan dan penderitaan
daripada tatanan yang bertujuan ini, sebenarnya diatur oleh
hukum akal. Mereka juga harus menumbuhkan rasa
bermakna di tengah bencana dan kegalauan yang sering
terjadi di dunia sekitar mereka. Ada keagungan dalam
falsafah, yakni pencarian objektivitas dan visi yang tak
lekang oleh waktu. Mereka menginginkan sebuah agama
universal, yang tak dibatasi oleh manifestasi ketuhanan
tertentu atau berakar pada ruang dan waktu tertentu; mereka
yakin adalah kewajiban mereka untuk menerjemahkan ayat-
ayat Al-Quran ke dalam idiom lebih maju yang akan
~307~ (pustaka-indo)