Page 328 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 328
http://pustaka-indo.blogspot.com
khayalan belaka. Orang Barat zaman sekarang
mengutamakan perhatian pada akurasi objektif, tetapi kaum
batini Ismaili, yang mencari dimensi tersembunyi (batin) dari
agama, terlibat dalam pencarian yang sangat berbeda.
Seperti penyair atau pelukis, mereka menggunakan
simbolisme yang tak banyak kaitannya dengan logika, tetapi
dirasakan telah menyingkapkan realitas yang lebih dalam
daripada yang dapat dicerap oleh indra atau diungkapkan
dalam konsep-konsep rasional. Oleh karena itu, mereka
mengembangkan metode membaca Al-Quran yang mereka
sebut ta’wil (secara harfiah berarti “membawa kembali”).
Mereka merasa bahwa metode ini akan membawa mereka
kembali kepada arketipe asli Al-Quran, yang telah
difirmankan di alam menok pada saat yang sama ketika
Muhammad membacanya di alam getik. Henri Corbin, ahli
sejarah Syiah Iran kontemporer, membandingkan disiplin
takwil dengan keselarasan nada dalam musik. Seorang
Ismaili seakan-akan dapat mendengar “suara”—sebuah ayat
Al-Quran atau hadis—pada beberapa tingkatan di saat yang
sama; dia berupaya melatih diri untuk mendengarkan suara
langit beserta ucapan Arabnya. Usaha itu menenangkan
daya kritis yang riuh dan menyadarkannya akan kesunyian
yang meliputi setiap kata dalam cara yang sama, seperti
seorang Hindu mendengar kesunyian tak terucapkan yang
meliputi suku kata suci QUM. Ketika mendengarkan
kesunyian itu, dia menjadi sadar akan jurang yang ada antara
perkataan dan gagasan tentang Tuhan serta realitas yang
5
sebenarnya. Inilah latihan yang membantu kaum Muslim
memahami Tuhan sebagaimana layaknya dia dipahami,
demikian menurut Abu Ya‘qub Al-Sijistani, pemikir Syiah
Ismailiyah terkemuka (w. 971). Sebagian kaum Muslim
sering berbicara tentang Tuhan secara antropomorfis,
menjadikannya seperti manusia yang mahaperkasa,
sedangkan yang lain menanggalkannya dari seluruh makna
~321~ (pustaka-indo)