Page 333 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 333
http://pustaka-indo.blogspot.com
menggunakan akal untuk menemukan sebanyak yang
mereka bisa tentang hakikat Tuhan.
“Bukti-bukti” Ibn Sina dimulai dengan pertimbangan tentang
cara pikiran kita bekerja. Ke mana pun kita mengarahkan
pandangan di dunia ini, kita melihat wujud-wujud senyawa
yang terdiri dari sejumlah unsur berbeda. Sebuah pohon,
misalnya, terdiri dari kayu, kulit kayu, getah, dan daun.
Ketika kita mencoba untuk mengerti sesuatu, kita
“menganalisis”nya, memecahnya ke dalam bagian-bagian
komponennya hingga tak ada lagi pembagian yang mungkin.
Unsur-unsur sederhana menjadi primer bagi kita dan wujud
senyawa yang dibentuk oleh unsur-unsur itu menjadi
sekunder. Oleh karena itu, kita terus-menerus mencari
penyederhanaan bahkan untuk wujud-wujud yang tidak bisa
direduksi lagi. Adalah aksioma falsafah bahwa realitas
membentuk satu-kesatuan yang koheren secara logis; itu
berarti bahwa pencarian tanpa akhir kita akan
kesederhanaan pastilah mencerminkan keadaan pada skala
besarnya. Seperti seluruh penganut Platonis, Ibn Sina
merasakan bahwa kemajemukan yang kita lihat di sekeliling
kita pasti bergantung pada kesatuan primal. Karena pikiran
kita memang memandang benda-benda senyawa sebagai
sekunder dan derivatif, kecenderungan ini pasti disebabkan
oleh sesuatu di luar pikiran, yaitu realitas yang lebih tinggi
dan sederhana. Benda-benda senyawa tidak berdiri sendiri,
dan wujud yang tidak berdiri sendiri itu lebih rendah daripada
realitas tempat mereka bergantung; seperti dalam sebuah
keluarga, anak berada pada status lebih rendah daripada
ayah yang darinya mereka diturunkan. Sesuatu yang
merupakan Kesederhanaan itu sendiri adalah apa yang
disebut para filosof sebagai “Wujud Wajib”, yakni yang tidak
bergantung pada sesuatu yang lain bagi keberadaannya.
Adakah wujud yang seperti itu? Seorang faylasuf, seperti Ibn
~326~ (pustaka-indo)