Page 336 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 336

http://pustaka-indo.blogspot.com
             untuk  menjelaskan  pengalaman  kenabian.  Pada  setiap
             sepuluh  fase  emanasi  wujud  dari  Yang  Esa,  Ibn  Sina
             berspekulasi bahwa sepuluh Akal Murni itu, bersama dengan
             jiwa-jiwa  atau  malaikat-malaikat  yang  menggerakkan
             kesepuluh  bidang  Ptolemik,  membentuk  sebuah  alam
             penengah  antara  manusia  dan  Tuhan,  yang  bersesuaian
             dengan dunia realitas arketipe yang diimajinasikan oleh kaum
             batini. Akal-akal ini juga memiliki imajinasi; bahkan mereka
             adalah  Imajinasi  dalam  keadaan  murninya.  Melalui  alam
             penengah  inilah—bukan  melalui  akal  diskursif—  manusia
             dapat  mencapai  pengenalan  paling  lengkap  tentang  Tuhan.
             Akal paling akhir dari cakrawala kita—yakni, akal kesepuluh
             —adalah  malaikat  pembawa  wahyu,  yang  dikenal  sebagai
             Jibril,  sumber  cahaya  dan  pengetahuan.  Jiwa  manusia
             tersusun dari akal praktis yang berhubungan dengan dunia ini,
             dan  akal  kontemplatif  yang  mampu  hidup  berdampingan
             dengan  Malaikat  Jibril.  Dengan  demikian,  menjadi  mungkin
             bagi  nabi-nabi  untuk  mendapatkan  pengetahuan  intuitif  dan
             imajinatif  tentang  Tuhan,  serupa  dengan  pengetahuan  yang
             dimiliki  Akal  yang  mentransendensi  akal  praktis  dan
             diskursif.  Pengalaman  kaum  Sufi  memperlihatkan  bahwa
             manusia  dimungkinkan  untuk  mencapai  visi  tentang  Tuhan
             secara  filosofis  tanpa  menggunakan  logika  dan  rasionalitas.
             Sebagai  pengganti  silogisme,  mereka  menggunakan  alatalat
             imajinatif berupa simbol dan kiasan. Nabi Muhammad Saw.
             telah  menyempurnakan  penyatuan  langsung  dengan  alam
             suci ini. Tafsiran psikologis tentang visi dan wahyu ini akan
             memampukan  para  Sufi  yang  berkecenderungan  filosofis
             untuk  mendiskusikan  pengalaman  keagamaan  mereka
             sendiri, seperti yang akan kita saksikan pada bab mendatang.

             Pada  akhir  hayatnya,  Ibn  Sina  tampaknya  telah  menjadi
             seorang  mistikus  pula.  Dalam  risalahnya,  Kitab  Al-Isyarat
             (Kitab  Peringatan),  dia  dengan  jelas  menjadi  sangat  kritis




                            ~329~ (pustaka-indo)
   331   332   333   334   335   336   337   338   339   340   341