Page 334 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 334
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sina menerima begitu saja bahwa kosmos bersifat rasional
dan dalam sebuah semesta yang rasional pastilah ada Wujud
yang Tak Disebabkan, Penggerak yang Tak Digerakkan, di
puncak hierarki eksistensi. Sesuatu pasti telah memulai rantai
sebab akibat. Ketiadaan wujud tertinggi seperti itu akan
berarti bahwa pikiran kita tidak selaras dengan realitas
secara keseluruhan. Ini, pada gilirannya, berarti bahwa alam
semesta tidaklah koheren dan rasional. Wujud sangat
sederhana yang kepadanya seluruh realitas majemuk
bergantung adalah apa yang disebut agama sebagai “Tuhan”.
Karena merupakan yang tertinggi di atas segalanya, ia pasti
sempurna secara mutlak dan pantas dihormati dan disembah.
Namun, karena eksistensinya begitu berbeda dari semua
yang lain, ia bukanlah salah satu simpul dalam rangkaian
mata rantai wujud.
Para filosof berpandangan sama dengan Al-Quran bahwa
Tuhan adalah kesederhanaan itu sendiri: Tuhan itu Satu. Oleh
karena itu, Tuhan tidak bisa dianalisis atau dipecah-pecah ke
dalam komponen atau sifat-sifat. Karena wujud ini secara
mutlak sederhana, tidak memiliki sebab, tidak berdimensi
temporal, dan tak ada sama sekali sesuatu yang bisa
dikatakan mengenainya. Tuhan tidak bisa menjadi objek
pemikiran diskursif, karena otak kita tidak bisa mencakup
Tuhan seperti caranya mencakup hal-hal lain. Karena Tuhan
itu secara esensial unik, dia tidak dapat diperbandingkan
dengan apa pun yang ada dalam pengertian yang normal.
Akibatnya, tatkala kita berbicara tentang Tuhan, lebih baik
kita menggunakan pernyataan negatif untuk membedakannya
secara mutlak dari semua hal lain yang kita bicarakan.
Namun, karena Tuhan merupakan sumber segala sesuatu,
kita dapat mempostulatkan hal tertentu tentang dia. Karena
kita tahu bahwa kebaikan itu ada, maka Tuhan mestilah
merupakan Kebaikan yang esensial atau “wajib”; karena kita
~327~ (pustaka-indo)