Page 335 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 335
http://pustaka-indo.blogspot.com
tahu bahwa kehidupan, kekuatan, dan pengetahuan itu ada,
maka Tuhan pastilah hidup, kuat, dan mengetahui dalam cara
yang paling esensial dan sempurna. Aristoteles telah
mengajarkan bahwa karena Tuhan adalah Akal Murni—pada
saat yang sama merupakan tindak penalaran serta objek dan
subjeknya sekaligus—dia hanya mungkin berpikir tentang
dirinya dan tidak memikirkan realitas yang bersifat
sementara dan lebih rendah. Ini tidak sesuai dengan
gambaran tentang Tuhan di dalam wahyu yang menyebutkan
bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu, hadir dan aktif
dalam tatanan makhluk. Ibn Sina mengupayakan sebuah
kompromi: Tuhan terlalu agung untuk turun ke taraf
mengetahui makhluk-makhluk yang hina dan partikular
seperti manusia dan segala perbuatannya. Seperti yang
dikemukakan oleh Aristoteles, “Ada hal-hal yang lebih baik
8
tidak dilihat daripada dilihat.” Tuhan tidak mungkin
mencemari dirinya dengan detail-detail kehidupan di bumi
yang remeh dan sangat rendah. Namun, di dalam aktivitas
pengenalan dirinya yang abadi, Tuhan mengetahui segala
sesuatu yang beremanasi darinya dan yang telah diberinya
wujud. Tuhan mengetahui bahwa dia adalah sebab bagi
makhluk-makhluk fana. Pemikirannya sangat sempurna
sehingga berpikir dan bertindak merupakan satu aksi yang
sama. Kontemplasi abadinya tentang dirinya sendiri
menimbulkan proses emanasi seperti yang telah dijelaskan
oleh para faylasuf. Akan tetapi, Tuhan mengetahui kita dan
dunia kita hanya secara umum dan universal; dia tidak
berurusan dengan yang partikular.
Sungguhpun demikian, Ibn Sina tidak puas dengan penjelasan
abstrak tentang kodrat Tuhan ini: dia ingin
menghubungkannya dengan pengalaman keagamaan kaum
beriman, para Sufi, dan kaum batini. Karena tertarik pada
psikologi agama, dia menggunakan skema emanasi Plotinian
~328~ (pustaka-indo)