Page 341 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 341
http://pustaka-indo.blogspot.com
mencampakkannya. Pengalaman keagamaannya tentang
Tuhan lebih didahulukan daripada semua metode
rasionalistik.
Akan tetapi, jika akal tak mampu menyampaikan kepada kita
apa pun tentang Tuhan, lantas apa gunanya diskusi rasional
tentang persoalan-persoalan teologis? Pertanyaan ini telah
menyibukkan pemikir Muslim Abu hamid Alghazali (1058-
1111), figur penting dan ternama dalam sejarah filsafat
agama. Dilahirkan di Khurasan, dia belajar kalam di bawah
bimbingan Al-Juwaini, seorang teolog Asy‘ariah terkemuka.
Pada usia tiga puluh tiga tahun, Al-Ghazali diangkat sebagai
direktur Masjid Nizamiyah yang terkenal di Bagdad.
Tugasnya adalah mempertahankan doktrin-doktrin Sunni dari
serangan Syiah Ismailiyah. Akan tetapi, Al-Ghazali memiliki
temperamen gelisah yang membuatnya tak henti-henti
bergumul mencari kebenaran, memikirkan suatu persoalan
sampai tuntas dan menolak untuk puas dengan jawaban yang
mudah dan konvensional. Seperti yang dikatakannya kepada
kita,
Aku telah menerobos setiap celah yang gelap,
aku telah menyerang setiap persoalan, aku
telah menyelam ke dalam setiap lautan. Aku
telah meneliti akidah semua sekte, aku telah
menelanjangi semua doktrin rahasia setiap
komunitas. Semua ini kulakukan agar aku dapat
membedakan antara kebenaran dan kesesatan,
antara tradisi yang sahih dan pembaruan yang
9
bid‘ah.
Dia mencari sejenis kepastian tak tergoyahkan yang
dirasakan filosof seperti Saadia, tetapi dia menjadi semakin
kecewa. Betapapun luasnya pencarian yang telah dia
lakukan, kepastian mutlak selalu luput darinya.
~334~ (pustaka-indo)