Page 342 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 342
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tokoh-tokoh yang sezaman dengannya mencari Tuhan dalam
berbagai cara, sesuai dengan kebutuhan pribadi dan kejiwaan
mereka masing-masing: dalam kalam, melalui seorang imam,
dalam falsafah, dan dalam mistisisme Sufi. Al-Ghazali
tampaknya telah mempelajari semua disiplin ini dalam
upayanya untuk memahami “apa hakikat segala sesuatu
10
dalam dirinya sendiri”. Para pengikut keempat aliran besar
Islam yang ditelitinya mengklaim keyakinan total tetapi, Al-
Ghazali bertanya, bagaimana membuktikan kebenaran klaim
ini secara objektif?
Al-Ghazali menyadari, seperti halnya setiap kaum skeptik
modern, bahwa kepastian mutlak merupakan suatu kondisi
psikologis yang tidak selalu benar secara objektif. Para
faylasuf menyatakan bahwa mereka memperoleh
pengetahuan yang pasti melalui argumen rasional; para
mistikus berpendapat bahwa mereka telah menemukannya
lewat latihan-latihan Sufistik; kelompok Syiah Ismailiyah
merasa bahwa kepastian itu hanya bisa ditemukan dalam
ajaran imam-imam mereka. Akan tetapi, realitas yang kita
sebut “Tuhan” tidak bisa diuji secara empiris, jadi bagaimana
bisa kita meyakini bahwa kepercayaan-kepercayaan kita itu
bukanlah khayalan belaka? Bukti-bukti rasional yang lebih
konvensional gagal memuaskan standar ketat Al-Ghazali.
Para teolog kalam memulai dengan proposisi-proposisi yang
dijumpai di dalam Al-Quran, tetapi tidak pernah diverifikasi
hingga bebas dari keraguan rasional. Kaum Ismaili
bergantung pada ajaran seorang imam yang gaib dan tidak
dapat dihubungi, tapi bagaimana kita bisa memastikan bahwa
imam itu mendapat inspirasi ilahi, dan jika kita tidak bisa
bertemu dengannya, apa makna inspirasi itu? Falsafah adalah
yang paling tidak memuaskan di antara semuanya. Al-
Ghazali mengarahkan sebagian besar polemiknya kepada Al-
Farabi dan Ibn Sina. Karena berkeyakinan bahwa mereka
~335~ (pustaka-indo)